Home Gaya Hidup Gerobak Sapi Menolak Mati, untuk Wisata hingga Tunggangan Pengantin

Gerobak Sapi Menolak Mati, untuk Wisata hingga Tunggangan Pengantin

Bantul, Gatra.com - Gerobak sapi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak mati tergerus zaman. Perajin dan pemilik gerobak sapi terus berkreasi, dari angkutan barang beralih menjadi akomodasi wisata.

Sumardiyanto, salah satu pemilik gerobak sapi dari Kecamatan Imogiri, mengenang bagaimana dulu di era 1980-1990-an gerobak sapinya menjadi andalan bagi perajin batik di Karangkajen, Kota Yogyakarta dan rumah produksi mie lethek Kecamatan Pandak, Bantul, sebagai pengangkut kayu bakar.

“Imogiri dulu dikenal sebagai penghasil kayu yang digunakan untuk batik maupun memasak mie lethek. Dulu tiga hari sekali, dari Imogiri saya mengangkut kayu seberat 1,5 ton ke Karangkajen dan Pandak dengan upah Rp250 ribu,” katanya, Rabu (23/2).

Sempat dilarang masuk ke Kota Yogyakarta karena roda kayu berbungkus besi dituduh merusak aspal, Sumardiyanto mengatakan kenangan itu masih menjadi kebanggaan untuk diceritakan ke banyak orang.

Di tengah kemajuan zaman, para pemilik yang sekaligus pengemudi gerobak sapi yang disebut ‘bajingan’ tidak mau 'mati'. Mereka terus melawan dengan melahirkan berbagai layanan akomodasi wisata dan pesanan khusus.

Lewat paguyuban gerobak sapi ‘Guyup Rukun’ yang terpusat di Dusun Jodog, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, sebanyak 40-an pemilik gerobak sapi berserikat dan berupaya tetap bertahan.

“Gerobak sapi sekarang lebih banyak mengangkut wisatawan yang ingin menikmati suasana desa. Bahkan lebih sering menjadi kendaraan bagi pengantin baru. Tarif antara Rp100 ribu untuk keliling desa dan tiga sampai empat kali lipat untuk kendaraan pengantin,” katanya.

Pengelola wisata gerobak sapi “Jodogkarta’ Bantul, Tri Iswanto, mengatakan sebagai upaya pelestarian angkutan tradisional ini, setiap hari pasaran Minggu Pon gerobak sapi diundang berkumpul di lapangan Jodog.

“Di hari pasaran Pasar Jodog itu, gerobak sapi kita gunakan untuk mengangkut wisata berkeliling dusun. Dengan biaya Rp75 ribu untuk lima penumpang, kita ajak wisatawan berkeliling desa dengan durasi 30 menit,” katanya.

Sejak dihadirkan pada Januari lalu, Tri menyebut kehadiran gerobak sapi sebagai akomodasi wisata disambut positif.

Menurutnya, gerobak sapi bukanlah sekadar angkutan tradisional, namun menjadi kebanggaan bagi pemiliknya. Dengan harga pembuatan sekitar Rp15 juta, belum termasuk nilai dua sapi yang menjadi penariknya, Tri mengatakan gerobak menjadi aset berharga.

Bahkan dia menyebut bahwa gerobak milik Sumardiyanto merupakan gerobak terbaik dalam hal orisinalitas. Gerobak yang dihargai Rp20 juta ini adalah juara pertama lomba gerobak sapi tiga tahun berturut-turut.

Menyoal nama, anggota senior paguyuban Prapto Prayitno menyebut jika nama bajingan disematkan untuk membuat takut para bajingan yang dulu menjadi musuh utama di jalanan.

“Kalau kami kalah dengan bajingan di jalanan dulu, tak hanya angkutan, gerobak dan sapinya bisa hilang. Tapi sebenarnya bajingan memiliki arti 'bagus ing jiwo, angen-angen neng Pangeran' (bagus jiwanya dan selalu ingat pada Tuhan),” katanya.

137