Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) memeriksa 3 mantan direktur PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., di antaranya Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko Tahun 2017, HIS; dan mantan Direktur Keuangan Tahun 2012–2014, HH.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Jakarta, Senin (21/1), menyampaikan, satu mantan direktur Garuda Indonesia lainnya, yakni Direktur Pemasaran dan Penjualan Tahun 2013, MFJ.
Menurutnya, mereka diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Pengadaan Pesawat Udara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Tahun 2011–2021. “[Mereka] diperiksa terkait dengan mekanisme pengadaan pesawat udara,” ujarnya.
Selain ketiga mantan direktur tersebut, Tim Jaksa Pidsus Kejagung juga memeriksa 3 mantan pejabat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., yakni Direktur Strategis dan Pengembangan Manajemen Risiko Tahun 2011, AS; VP Human Capital & Corporate Affairs Tahun 2011–2016, HAP; dan VP Corporate Communications Tahun 2009–2015, P. Mereka juga diperiksa soal mekanisme pengadaan pesawat udara di Garuda.
Leo menjelaskan, pemeriksaan para saksi di atas untuk kepentingan penyidikan dan menemukan fakta hukum kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat terbang di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
“Guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri,” katanya.
Kejagung menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan atau sewa pesawat ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ke tahap penyidikan dan akan mengusut kasus-kasus lainnnya di maskapai pelat merah tersebut.
“Perkara tindak pidana korupsi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Jaksa Agung menyampaikan bahwa telah dinaikan menjadi penyidikan umum,” ujar Leo pada Kamis (20/1/2022).
Ia menjelaskan, untuk tahap pertama, penyidik mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan atau sewa pesawat ATR 72-600. Kemudian juga kasus-kasus sejumlah pengadaan lainnya.
Menurutnya, ada beberapa pengadaan kontrak pinjam dan pengadaan lainnya, yakni pesawat jenis Bombardier, Air Bus, Boeing, dan Rolls Royce.
“Kita akan kembangkan dan tuntaskan di mana setiap penanganan, kami akan berkoordinasi dengan KPK karena ada beberapa yang telah tuntas di KPK dan juga untuk menghindari adanya tumpang tindih,” ujar Burhanuddin.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiasyah menyampaikan bahwa Jaksa Agung telah memerintah kepada jajaran Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) untuk melakukan penyidikan dalam proses melihat siapa yang bertanggung jawab di luar yang telah ditetapkan oleh KPK.
Agar tidak tumpang tindih dengan kasus korupsi pada PT Garuda Indonesia yang sedang ditangani KPK, lanjut Febrie, pihaknya intens melakukan koordinasi dengan pihak lembaga antirasuah.
Koordinasi dilakukan karena KPK telah lebih dahulu melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pada Garuda Indonesia tersebut. Koordinsi juga dilakukan mulai dari alat bukti maupun konstruksi pembuktian yang mungkin telah ada di KPK.
“Saat ini, perkara telah naik ke tahap penyidikan dan konsentrasi kami ada di pengadaan pesawat jenis ATR dan Bombardier. Untuk kerugian negara, kami tidak bisa sampaikan secara detail karena tetap akan dilakukan oleh auditor,” ujarnya.
Namun Febrie menyebutkan bahwa kerugian keuangan negaranya cukup besar, seperti contohnya untuk pengadaan sewa saja, indikasinya sebesar Rp3,6 triliun sehingga cara pandang penyidik di Kejagung sekaligus mengupayakan bagaimana kerugian yang terjadi di PT Garuda Indonesia.
“Akan kita upayakan pemulihannya. Kerugian di PT Garuda Indonesia terjadi pada saat dipimpin oleh Direktur Utama ES yang saat ini telah diproses oleh KPK dan masih menjalani hukuman,” ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung mulai menyelidiki kasus dugaan korupsi sewa pesawat ?ATR 72-600. Penyelidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021 tanggal 15 November 2021.
Leo di Jakarta, Selasa (11/1), mengatakan, surat perintah penylidikan tersebut diterbitkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Surat tersebut merupakan perintah untuk menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Garuda Indonesia berupa penggelembungan (mark up) penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat,” ujarnya.
Leo lantas menjelaskan posisi kasus tersebut. Secara singkat, bahwa berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Tahun 2009–2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 unit yang akan dilaksanakan oleh PT Garuda Indonesia.
Pegadaan pesawat tersebut, lanjut Leo, baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan Lessor Agreement, yakni pihak ketiga akan menyediakan dana dan PT Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor dengan cara pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
Selanjutnya, atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat, di antaranya ATR 72-600 sebanyak 50 unit, terdiri pembelian 5 unit dan sewa 45 unit. Kemudian, pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit, terdiri 6 pembelian dan sewa sejumlah 12 unit.
Leo melajutkan, bussiness plan procedure dalam pengadaan atau sewa pesawat di PT Garuda Indonesia adalah direktur utama akan membentuk Tim Pengadaan Sewa Pesawat atau Tim gabungan yang melibatkan personel dari beberapa Direktorat, yakni Teknis, Niaga, Operasional, dan Layanan/Niaga.
“[Mereka] yang akan melakukan kajian dan dituangkan dalam bentuk paper hasil kajian. Feasibility Study (FS) disusun oleh tim atas masukan oleh direktorat terkait mengacu pada bisnis plan yang telah dibahas dalam pembahasan anggaran harus inline dengan perencanaan armada dengan alasan feasibility/riset/kajian/tren pasar/habit penumpang yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Atas pengadaan atau sewa pesawat tersebut, ujar Leo, diduga telah terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntung pihak lessor.