Karanganyar, Gatra.com – Produsen tempe kedelai di Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng) mengurangi produksi. Ukuran isi kemasan juga dikurangi. Mahalnya bahan baku pembuatan tempe kedelai melatarbelakanginya.
“Biasanya sehari memasak 80 kilogram kedelai. Sejak kedelai impor mahal, sehari paling memasak 50-60 kilogram saja,” kata Lilik Lestari (55), produsen tempe asal Dusun Jiringan Kulon, Desa Dawung Matesih kepada Gatra.com di rumah produksinya, Minggu (20/2).
Saat ini, harga kedelai impor di gudang Palur Rp11 ribu per kilogram. Padahal, harga normalnya Rp8.500 per kilogram. Kenaikan harganya bertahap sejak tiga bulan lalu. Pengurangan ukuran merupakan cara paling logis daripada ia menaikkan harga jual.
Di rumah produksinya, Lilik mengemas tempe kedelai ke kemasan plastik dan daun pisang. Pada kemasan plastik, ia mengurangi sampai hanya berisi 1,5 ons. Di kalangan tengkulak, ia menjualnya Rp2 ribu per bungkus. Sedangkan untuk kemasan daun pisang, per bungkus dijualnya Rp1.500. Dalam sehari, ia mampu memproduksi 230 bungkus tempe kedelai kemasan plastik dan 500 bungkus kemasan daun pisang.
“Isi di daun pisang lebih sedikit dibanding plastik,” kata wanita yang mengaku sudah 35 tahun memproduksi tempe kedelai ini.
Bahan baku tempe kedelainya mengandalkan impor. Jenis kedelai lokal bukan pilihan tepat membuat tempe berkualitas. Alasannya, kulit ari terlalu banyak dan kurang bersih. Jika dimasak, rasa dan teksturnya kurang pas di lidah.
“Impor kedelai ini dari Amerika dan Brasil. Mendekati Ramadan nanti kemungkinan stabil tinggi harganya,” kata dia.
Produksi yang dikurangi hampir 50% dilatarbelakangi lesunya permintaan pasar. Meski harga kedelai naik, penjualan tetap stabil alias sama saja.
“Masak 80 kilo atau 50 kilo, yang beli segitu terus. Daripada saya merugi, mendingan kurangi produksi namun tetap menjual harga sama. Konsekuensinya mengurangi takaran,” katanya.
Meski demikian, kualitas ‘Mak Lilik’, demikian ia dikenal kalangan tengkulak, dipastikan tetap baik. Lilik memasak bahan baku dengan cara merebusnya dua kali. Baru kemudian setelah ditiriskan, dicampur ragi tempe.
“Kebanyakan produsen enggak mau repot merebus sampai dua kali. Ragi tape juga dicampur saat kedelai masih basah. Cara ini kurang meresap citarasanya. Selama puluhan tahun membuat tempe, citarasa tetap terjaga. Kalau harga kedelai naik turun sudah biasa,” katanya.