Home Nasional Ahli: Pengubahan Paradigma Jawa-sentris Tak Cukup dengan Pindahkan IKN

Ahli: Pengubahan Paradigma Jawa-sentris Tak Cukup dengan Pindahkan IKN

Jakarta, Gatra.com – Ahli tata kota Wicaksono Sarosa setuju terhadap kebijakan pemindahan ibu kota negara (IKN) sebagai upaya mengubah paradigma pembangunan, dari semula ‘Jakarta-sentris’ atau ‘Jawa-sentris’ menjadi ‘Indonesia-sentris’.

Namun, Wicak menilai upaya pengubahan paradigma tersebut tidak cukup jika hanya dengan pemindahan IKN. Menurutnya, ada sejumlah upaya tambahan lain yang mesti dilakukan guna mendorong pembangunan di luar Jawa.

“Pemindahan IKN penting dalam proses pengubahan paradigma, tetapi itu tidak cukup. Jadi, necessary but insufficient condition kalau dalam bahasa yang sering dipakai,” ujar Wicak di acara Forum Diskusi Salemba, Sabtu (19/2).

Dia menambahkan, perwujudan IKN perlu dibarengi suatu ‘kebijakan perkotaan nasional’ guna memperjelas arah pembangunan kota-kota di Indonesia. Hal ini juga dimaksudkan untuk membangun sistem perkotaan yang seimbang, menyejahterakan, dan berkeadilan.

“Karena driver pertumbuhan adalah kota. Jadi jelas nanti Makassar mau diapakan, nanti Manado mau diapakan, dan sebagainya. Tidak melulu berfokus pada IKN saja. Dengan begitu, pemerataan pembangunan secara spasial lebih mungkin terwujud,” imbuhnya.

Wicak menuturkan, pemindahan IKN dapat berperan besar dalam upaya pemerataan pembangunan secara kewilayahan. Terlebih, tingkat urbanisasi di Indonesia akan terus meningkat.

Menurut Wicak, skenario ‘business as usual’ tidak akan banyak mengubah proporsi penduduk Jawa dan luar Jawa. Hal ini diketahui lewat studi yang dilakukan ‘Ruang Waktu’ bersama Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran (Unpad).

“Pada 2045, sekitar 73% (233 juta dari 319 juta) penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di kawasan perkotaan. Jadi, selama periode 2020–2045 diperkirakan akan ada pertambahan sekitar 82 juta penduduk perkotaan,” paparnya.

Dia mengatakan, proses urbanisasi (lewat migrasi maupun reklasifikasi penggunaan ruang) tidak bisa ditahan. Meski begitu, tetap dapat dikelola atau diarahkan. Sehingga, manfaat urbanisasi akan lebih optimal karena pertumbuhan perkotaan tak tertumpuk di Pulau Jawa.

Wicak beranggapan bahwa akan banyak kerugian jika sebagian besar urbanisasi terjadi di Pulau Jawa. Kondisi itu juga dikhawatirkan bisa mengganggu ‘ketahanan pangan’ negeri lantaran penyusutan lahan pertanian subur di Pulau Jawa.

Bank Dunia mencatat, tingkat urbanisasi di Indonesia ‘kalah menyejahterakan’ dibandingkan yang terjadi di negara-negara Asia Timur dan Pasifik. Selama kurun waktu 1996–2016, peningkatan 1% tingkat urbanisasi di Indonesia hanya mendorong 1,4% PDB per kapita.

Sedangkan, penambahan 1% tingkat urbanisasi di negara-negara Asia Timur dan Pasifik rata-rata berkorelasi sebanyak 2,7% PDB per kapita. Bahkan, kenaikan 1% tingkat urbanisasi di China mampu mendorong sebesar 3% PDB per kapita.

“Artinya, proses urbanisasi yang terjadi di Indonesia tidak seiring dengan peningkatan penyejahteraan warga secara lebih cepat dibanding di negara-negara sekitar kita,” tuturnya.

Wicak menyatakan, keadaan tersebut terjadi karena urbanisasi terlalu terpusat di Pulau Jawa. Kemudian, kota-kota kita tumbuh lebih cepat daripada kemampuan mengantisipasi, merencanakan, dan menyediakan kebutuhan warga.

329