Tambang Batu di Lahan Surga
Polemik penambangan batu andesit di Desa Wadas memantik konflik yang jauh lebih besar. Ancaman kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam keseimbangan alam, tapi juga hidup warga yang menggantungkan kesehariannya dari hasil alam.
Beringin Pencekik setinggi 10 meter itu terbebat kain putih. Warga sekitar menyebutnya Pohon Bulu. Di bawah pohon tersebut terdapat genangan yang terus mengucurkan air. Sejumlah bilah bambu dan selang plastik menjulur dari sumber genangan itu kearah rumah-rumah warga.
"Airnya keluar terus. Dari zaman simbah-simbah, enggak habis-habis. Waktu kemarau air ini segala-galanya. Kalau sini ditambang, kami dapat air dari mana?,’ ujar Khamim, 42 tahun saat ditemui Gatra, Kamis, 7 Oktober lalu, di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Desa Wadas bakal menjadi lokasi penambangan batu quary andesit untuk kepentingan pembangunan proyek Bendungan Bener. Bendungan itu masuk proyek strategis nasional dan diklaim sebagai bendungan tertinggi di Asia Tenggara.
Megaproyek dengan nilai investasi sebesar Rp2,06 triliun itu memiliki kapasitas debit air 100 juta meter kubik. Debit air sebesar itu diproyeksikan mampu menampung air baku 1.500 liter per detik dan menopang pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 6 megawatt (MW).
Desa Wadas, yang berjarak 10 kilometer dari lokasi proyek bendungan itu, berada di kawasan perbukitan dengan kontur naik-turun dan berlereng-lereng.
Desa ini berada di sisi utara pusat Kabupaten Purworejo. Seperti kebanyakan desa lain, sawah dan tegalan menghiasi sekeliling desa, lengkap dengan sejumlah anak sungai.
Rencana pemerintah menjadikan kawasan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan andesit itu membuat Khamim dan warga desa lainnya bertanya-tanya. Bagaimana bisa desanya jadi lokasi tambang, sementara desa lain yang lebih dekat dengan lokasi proyek justru luput. "Baru tahu namanya batu andesit itu juga sekarang," kata Khamim.
Seorang tetua warga dan pemuka agama setempat, Nur Wahid, bahkan mengingatkan pada 1988 pernah terjadi longsor usai hujan deras di tiga lokasi di Wadas. Tanah ambrol itu membuat sungai meluap dan terbawa aliran banjir.
Delapan orang meninggal akibat bencana itu. Tidak ada langkah antisipasi apa pun dari pemerintah daerah setelah kejadian. Justru warga berinisiatif mengantisipasi dengan menghijaukan lereng-lereng Wadas secara mandiri. Setelahnya, tidak ada lagi bencana longsor hingga kini. "Di musim rendeng (penghujan), warga kerja bakti. Kami siasati sendiri, termasuk pertaniannya beralih," katanya.
Tanaman perusak seperti singkong mulai ditinggalkan. Beralih pada komoditas yang menguatkan tanah. Ini bagian dari mitigasi bencana secara swadaya, bukan pembenaran untuk jadi wilayah lokasi tambang.
***
Kamis pagi, 7 Oktober lalu, puluhan warga Wadas lintas generasi, termasuk Khamim, melaksanakan kerja bakti membangun jembatan desa. Ditemani kopi hitam dan camilan, mereka duduk di bawah poster raksasa bertuliskan "Hadang Tambang Sampai Menang".
Spanduk bergambar pepohonan hijau dan keranjang hasil alam di antara petani dan aparat itu menjadi simbol perlawanan warga. "Pokoke sebelum merdeka, enggak boleh ditambang. Kalau sini dikeruk, mau makan apa," celetuk salah satu warga. Bagi mereka, proyek itu menggambarkan penindasan pemerintah.
Menikmati hasil alam secara turun-temurun, menurut warga sudah cukup membahagiakan. Mereka sendiri bahkan merasa hak-haknya diambil paksa. Sebab sosialisasi proyek Bendungan Bener dan penambangan di Desa Wadas pada 2016-2017 itu dianggap tidak utuh.
Warga menilai, saat itu aparat hanya datang untuk meminta persetujuan proyek tambang. Khamim menduga, batuan andesit yang namanya baru diketahui belakangan itu, adalah sejumlah lempengan batu yang menonjol di beberapa lokasi. Misalnya, yang muncul di sisi bukit dan permukaan anak Sungai Gendol.
Khamim menyebut, sekitar 140 hektare yang mencakup 500-an bidang tanah warga terancam hilang terdampak proyek tambang. Khamim sendiri mengaku khawatir kehilangan tiga bidang tanah, termasuk rumahnya. Sejumlah kampung di dua dusun pun terancam digusur.
"Dulu bilangnya cuma mau menambang di hutan, tidak ke permukiman. Tapi setelah itu sak karepe dewe (sesukanya sendiri). Bendungan ada terserah, tapi jangan menambang di sini. Ladang enggak boleh, apalagi rumah," ia mengungkapkan.
Selain air dan tempat tinggal, warga terancam kehilangan penghidupan dari bercocok tanam mereka. Bagi warga desa, bertani dengan metode tumpang sari dilakukan hampir seluruh warga yang secara turun-temurun dijalani pendahulunya.
"Hasil ini ada terus sepanjang tahun. Saya juga nandur (menanam) sekarang untuk anak-putu (cucu)," kata bapak dua anak dan satu cucu ini.
Khamim menanam durian, kopi, singkong, cengkeh, kencur, petai, jengkol, porang hingga temulawak merah. Tanamannya tersebar dan menarik mata di tegalan di lereng-lereng Wadas. Produk andalannya adalah durian lokal yang dihargai Rp25.000 hingga Rp40.000 per buah.
Baca juga: Wadas Dikepung Polisi, Warga Ditangkapi
Aktivitas warga lainnya menyadap pohon aren sebagai bahan membuat gula. Dari aktifitas itu, warga mengantongi Rp25.000--Rp30.000 per kilogram. Para ibu juga rajin membuat besek, wadah dari anyaman bambu. Mereka sanggup memproduksi sebanyak 10-20 besek per hari dengan harga jual Rp2.000 per buahnya.
Hasil alam itu dipanen berselang-seling. Misalnya saat kemarau warga panen kencur, jahe, dan temulawak. Saat musim hujan, giliran durian. Saat musim kemarau berikutnya, kemukus dipilih jadi komoditas tanaman.
Kemukus (Piper cubeba L.) jadi salah satu potensi besar Desa Wadas. Satu pohon mampu menghasilkan 5-40 kilogram dengan harga Rp60.000 per kilo. Rata-rata sekali panen, warga bisa meraup Rp1,3 juta per hari.
Tingginya harga jual kemukus disebabkan permintaan bahan baku jamu dan kosmetik ini cukup tinggi, terutama menjelang Idulfitri. "Kemukus bukan khas Wadas, tapi yang terbaik dari sini," Khamim menambahkan.
Dengan hasil alam tanpa putus itu, Khamim berhitung jika dirupiahkan maka ia bisa mengantongi Rp3,5 juta per bulan. Iming-iming ganti rugi, baginya, tidak sebanding dengan keberlangsungan hasil panen miliknya, meski ia mengaku butuh uang.
"Kami butuh duit, tapi tidak butuh ganti rugi dari tambang. Cukup kayak gini saja, tanah enggak dirusak. Ini sumber makanan kami sehari-hari," ia mengungkapkan.
Ia malah menduga, keberadaan batu andesit bukan satu-satunya alasan penambangan Wadas. Berdasar cerita turun-temurun dari leluhurnya, diketahui Wadas memiliki harta karun. Nur Hamid, salah satu tetua warga dan pemuka agama menyebut sejak zaman Belanda, tanah Wadas dikenal memiliki unsur logam mulia.
***
Terlepas dari motifnya, mayoritas warga menolak kehadiran tambang. Delapan dari 11 dusun di wadas bersikeras kehadiran tambang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Mereka menyuarakannya dengan berbagai cara.
Yang paling menonjol, dengan memasang spanduk dan mural bernada protes di penjuru Wadas. Ada spanduk bernada setuju, tapi jumlahnya kalah banyak. Setidaknya, Gatra menemukan hanya tiga spanduk dukungan tambang berbanding ratusan spanduk penolakan.
Warga juga menggelar doa agar proyek tambang dibatalkan. Diadakan bergilir oleh setiap RT dan dusun. Di musala dan di masjid. Ada pula gelaran "mujahadah" besar satu desa.
Kelompok anak muda yang tergabung di Kawula Muda Desa Wadas (Kamudewa) juga bersuara. Warga menyayangkan, aksi anak muda ini diadang polisi bersenjata lengkap. "Ini bentuk teror dan membuat trauma," kata Azim Muhammad, salah satu pemuda desa.
Polda Jawa Tengah dan Polres Purworejo membantah isu pengadangan itu. Polisi menyebut kedatangannya ke Wadas sebagai kegiatan patroli biasa dan bagi-bagi masker.
Warga Wadas juga sempat menggugat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tentang proyek bendungan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Namun, belakangan PTUN menolak gugatan warga Wadas sebagaimana termaktub dalam putusan hakim PTUN Semarang Nomor 68/G/PU/2021/PTUN.SMG tanggal 30 Agustus 2021.
Gatra berupaya meminta konfirmasi pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah soal kelanjutan protes warga. Namun, belum ada jawaban. Meski begitu, Pemprov Jawa Tengah melalui Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jateng meminta warga menghormati putusan dan berharap tidak ada gesekan sosial yang berujung pada perpecahan warga.
"Ini bukan tentang kalah atau menang. Tetapi mencari kebenaran. Terkait terbitnya keputusan gubernur tentang pembaruan penetapan lokasi tersebut, prinsipnya kami tunggu kasasi. Kalau tidak, kami hormati yang disampaikan penggugat," Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Tengah, Iwanuddin Iskandar, menjelaskan seperti dikutip dari laman Diskominfo Jateng.
Atas putusan itu, warga melalui komunitas Gempadewa mengajukan kasasi pada 14 September lalu.
***
Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, melihat kasus proyek Bendungan Bener dan penolakan warga menggambarkan sikap pemerintah yang lebih mementingkan proyek strategis nasional, yang bukan proyek strategis bagi warga, serta mengorbankan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya. "Wadas hanya satu kasus, masih banyak wilayah dan atau komunitas warga lain yang mengalami hal serupa," katanya.
Melky menyebut, terlalu banyak kejanggalan dalam rencana proyek ambisius itu. Misalnya menyangkut proses yang serba tertutup. Warga Wadas tidak pernah tahu sebelumnya jika tanah, ruang hidup mereka hendak dialihfungsikan menjadi lokasi penambangan.
Warga baru tahu ketika mendapai pihak pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) hendak memasang tenda sosialisasi, berikut ingin mematok titik tambang. "Tanah sebagai alat produksi utama warga, hendak dicaplok," Melky mengungkapkan.
Melky menilai proyek tambang Andesit di Wadas sebagai kebijakan pembangunan yang "ngawur". Bagaimana ceritanya demi memuluskan proyek strategis nasional namun dengan mengorbankan kehidupan warganya sendiri? Pasalnya, operasi tambang itu berdiri diatas lahan warga.
Jika dipaksakan, maka warga kehilangan ruang produksi. Dampak lanjutannya, warga jatuh miskin, menganggur, bahkan berpindah ke kota untuk mencari lahan rezeki.
Di sisi lain, proyek tambang juga berpotensi mencemari air tanah dengan karakternya yang destruktif. Dengan begitu bisa menimbulkan tercemarnya air tanah dan air permukaan. Dampak tercemarnya air berujung pada kesehatan warga, lahan pertanian dan dalam jangka panjang akan lenyap. Warga kehilangan sumber air.
Sementara dari sisi kajian ilmiah, dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Hendy Setiawan, seperti dikutip dari Clapeyron Media, melihat bahwa berdasar tinjauan lokasi geologi regional, daerah Bendungan Bener dan Desa Wadas masuk dalam Formasi Kebo-Butak yang tersusun oleh breksia andesit, tuf, sisipan lava, serta intrusi andesit. Adanya batuan andesit di Desa Wadas, menurutnya, telah memenuhi aspek kesesuaian lahan.
Meski begitu, kajian mengenai kemampuan lahan di sekitarnya juga harus dilakukan. Pelaksanaan kajian ditujukan guna memastikan lahan di sekitarnya dapat beradaptasi dengan perubahan pasca kegiatan penambangan batuan andesit.
Dengan meninjau peta geologi regional, Desa Wadas dianggap pilihan ideal. Disamping itu, Desa Wadas memiliki jarak terdekat dengan Bendungan Bener. Sehingga dapat mendongkrak effective cost-nya. Namun, bukanlah satu-satunya pilihan dalam mengambil batuan andesit.
Pada hulu Bendungan Bener, Hendy melanjutkan, terdapat batuan andesit dengan nilai unconfined compression strength (UCS) tinggi. Temuan itu memungkinkan ada sumber pengambilan batuan andesit baru sehingga meringankan beban quary di Desa Wadas.
Soal aktivitas penambanngan dengan metode blasting, Hendy menilai secara umum kejadian tanah longsor dapat terjadi karena gempa dengan magnitudo di atas 3,5 SR.
Karena itulah, intensitas dari ledakan perlu diketahui untuk dapat menjustifikasi kemungkinan blasting menjadi penyebab tanah longsor atau tidak. "Walaupun belum tentu menjadi penyebab longsor, getaran akibat metode blasting tentu mengganggu kondisi lereng," ia menambahkan.
Keruntuhan sangat mungkin terjadi, dan untuk meminimalkan dampak ledakan, menurutnya perlu diatur jarak lokasi blasting terhadap permukiman warga agar cukup jauh.
Mengutip pernyataan pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, penambangan sudah mempertimbangak radius aman, yakni sekitar 300-500 meter dari permukiman warga demi meminimalkan kerusakan.
Sandika Prihatnala, Ryan Puspa Bangsa, dan Arif Koes Hernawan (Purworejo)
Terbit di majalah Gatra Edisi 02 Tahun 28 (4-10 November 2021)