Banyumas, Gatra.com– Fenomena istri bekerja dan suami menganggur yang kerap diplesetkan jadi ‘papa momong mama kerja’ atau Pamong Praja berbuntut perceraian ternyata tidak hanya terjadi di Purbalingga. Fenomena pola perubahan lapangan kerja itu juga terjadi di daerah lain di Jawa Tengah.
Hal tersebut disampaikan Sri Dewi Indrajati Kabid Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pemprov Jawa Tengah pada saat menyampaikan materi acara Desa Ramah Anak Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Sri Dewi mengatakan, perceraian tinggi tidak hanya terjadi di Kabupaten Purbalingga. Menurutnya, perceraian yang disebabkan oleh perubahan pola lapangan pekerjaan tidak hanya terjadi di Purbalingga namun banyak daerah di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu ditemukan formula agar hal tersebut bisa dihindari.
“Fenomena perceraian yang disebabkan karena perubahan pola lapangan kerja yang porsinya lebih banyak pada perempuan tidak hanya terjadi di Purbalingga. Di Jepara juga ada pabrik sepatu yang menyerap lebih banyak tenaga perempuan dan itu banyak menjadi penyebab naiknya angka perceraian,” katanya, dalam keterangannya, dikutip Selasa (1/2).
Dia menambahkan, tingginya angka perceraian atas dasar hal tersebut salah satunya dikarenakan oleh penuntutan hak perempuan yang tidak diterima tatkala para perempuan belum berpenghasilan sendiri. Angka KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang diterima oleh perempuan juga menjadi pemicu tingginya perceraian karena perempuan merasa haknya telah sama dengan para pria.
“Ketika perempuan sudah bekerja dan masih mendapatkan perlakukan yang tidak mengenakan contohnya KDRT dari pria, maka perempuan akan menuntut haknya yang mereka nilai telah memiliki hak yang sama yaitu dengan perceraian,” ucap dia.
Menanggapi fenomena tersebut, dirinya meminta agar Pemda di seluruh Jawa Tengah termasuk Purbalingga melakukan langkah pencegahan di awal. Sebagai contoh adalah di saat akan melakukan persetujuan pendirian perusahaan dari investor, Pemkab harus memikirkan dan memetakan dampak sosial termasuk perceraian. Pemkab dan Pemkot harus mengedukasi masyarakat di awal tentang persamaan hak gender.
“Persamaan hak gender harus disosialisasikan dengan baik. Para pria juga harus memahami persamaan hak sehingga kekerasan terhadap perempuan yang akan berujung pada perceraian bisa direduksi,” ujarnya.
Di tahun 2022 ini, Kabupaten Purbalingga oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dijadikan role model DRPPA. Menurut Sri Dewi salah satu yang menjadi alasan dipilihnya Purbalingga dimungkinkan karena Purbalingga memiliki pemimpin perempuan yang diharapkan akan mendukung penuh program tersebut.
“Kementerian memilih Bupati dan Walikota yang perempuan diharapkan agar program tersebut didukung secara optimal,” ujarnya.
Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda menjabarkan 9 indikator keberhasilan DRPPA yaitu sejauh mana perencanaan terhadap DRPPA diimplementasikan oleh Desa, meningkatnya kewirausahaan pada perempuan, keterwakilan perempuan pada struktur pemerintahan Desa serta BPD, partisipasi anak dan perempuan dalam pembangunan Desa, meningkatnya peran ibu dalam keluarga dalam pengasuhan kepada anak, tidak ada anak yang bekerja sebelum waktunya, tidak ada anak yang menikah di bawah 18 tahun, tidak ada kekerasan terhadap anak dan perempuan dan jika mendapatkan kekerasan harus mendapatkan pelayanan yang komprehensif.
“Tahun ini Desa Sempor Lor Kecamatan Kaligondang dan Desa Pandansari Kejobong menjadi Desa DRPPA semoga bisa memenuhi 9 indikator tersebut,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda.