Home Hukum IJW Sebut Pengadaan Satelit Kemhan Bukan Tindak Pidana Korupsi

IJW Sebut Pengadaan Satelit Kemhan Bukan Tindak Pidana Korupsi

Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW), Akbar Hidayatullah, berpandangan bahwa Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) Tahun 2015–2021 bukan merupakan tindak pidana korupsi.

Akbar di Jakarta, Senin (31/1), berpandangan bahwa pengadaan satelit di Kemhan itu murni persoalan bisnis sehingga Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak seharusnya meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan.

Karena itu, lanjut Akbar, Kejagung tidak perlu meneruskan pemeriksaan saksi-saksi untuk menetapkan tersangka. Ia pun meminta Kejagung agar objektif dan hati-hati dalam menangani kasus tersebut.

Menurutnya, proses penyidikan yang dilakukan Kejagung tidak objektif karena dalam proses penyidikannya hanya mengarah pada pihak swasta. Kalau objektif, tentunya Kejagung memeriksa pihak Kemhan selaku kuasa pengguna anggaran dalam pengadaan ini.

“Jangan sampai pihak swasta merasa ini sebagai upaya kriminalisasi atau kambing hitam atas kelalaian bayar negara kepada pihak swasta, tentunya ini akan menjadi preseden buruk bagi Investasi di Indonesia,” ujarnya.

Lebih lanjut Akbar menyampaikan, secara yuridis kasus ini tidak bisa disidik karena merupakan kebijakan bebas (Freies Ermessen) Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu. Presiden mengeluarkan kebijakan Freies Ermessen atau diskresi untuk menyelematkan slot Satelit Orbit 123 BT.

“Menurut hukum administrasi negara, jika demi kepentingan umum, pejabat boleh mengeluarkan diskresinya. Terkait hal ini Presiden telah mengeluarkan diskresinya,” ujarnya.

Akbar pun menyarankan penyidik Kejagung untuk meminta pendapat dari pakar hukum administrasi negara, sebelum meminta keterangan kepada semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. Dalam penetapan tersangkat perlu dua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, salah satunya keterangan ahli.

"Apakah Kejaksaan telah meminta pendapat ahli? Jika tidak, artinya prosedur di KUHAP telah dilanggar. IJW meminta Kejaksaan taat terhadap hukum acara,” katanya.

Akbar berpendapat jika melihat kronologisnya bahwa proyek satelit tersebut tidak memenuhi unsur pidana dan murni bisnis. Pendapat itu pertama adanya gugatan arbitrase yang merupakan penyelesaian sengketa bisnis.

Kedua, lanjut Akbar, pekerjaan ini merupakan penugasan Presiden Jokowi kepada Kemenhan dalam rapat terbatas pada 4 Desember 2015 karena terjadi kekosongan satelit orbit 123 yang dianggap strategis.

Setelah menerima perintah tersebut, kemudian ditunjuk satelit Artemis milik Avanti yang memang tersedia pada orbit tersebut dengan nilai sewa 30 juta US$. Karena tagihan yang belum dibayar oleh Kemenhan sebesar 16,8 juta US$ sehingga Avanti sebagai pemilik satelit menggugat Indonesia di Arbitrase Inggris.

Pada tahun 2019, Pengadilan Arbitrase Inggris menjatuhi hukuman agar Indonesia membayar Rp515 miliar. Kemudian gugatan ke Arbitrase Internasional itu diikuti oleh pihak lain sehingga pemerintah Indonesia mengambil kesimpulan terjadi kerugian negara.

“Kerugian negara untuk membayar atas kekalahan di pengadilan arbitrase Inggris ini tentu tidak bisa dibebankan kepada pihak lain alias swasta. Pemerintah lah yang bertanggungjawab sebagai komitmen tidak taat terhadap perjanjian bisnis,” katanya.

Sebelumnya, Kejagung pada Jumat (14/1), menyatakan bahwa pihaknya mulai menyidik kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan Satelit slot Orbit 123° BT pada Kemhan tahun 2015–2021.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, mengatakan, pihaknya mulai menyidik kasus tersebut setelah menaikkannya dari penyelidikan. Adapun penyelidikan kasus ini berlangsung sepekan.

Dalam penyelidikan tersebut, penyelidik Kejagung telah memeriksa beberapa pihak, baik dari swasta atau rekanan pelaksana maupun dari beberapa orang di Kemhan sebanyak 11 orang.

Kejagung juga berkoordinasi dengan beberapa pihak yang dapat menguatkan pencarian barang bukti, salah satunya auditor di Badan Pengawasan Kuangan dan Pembangunan (BPKP) ketika menyelidiki kasus tesebut.

Pelibatan auditor BPKP tersebut, lanjut Febrie, sehingga tim penyelidik memperoleh masukan sekaligus laporan hasil audit tujuan tertentu dari BPKP. Selain itu juga, didukung dokumen lain yang dijadikan alat bukti dalam proses pelaksanaan itu sendiri.

Jampidsus mengatakan, kasus dugaan korupsi ini berawal pada tahun 2015 sampai dengan 2021 ketika Kemenhan melaksanakan Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° BT. Ini merupakan bagian dari Program Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) di Kemhan, antara lain pengadaan satelit Satkomhan MSS (Mobile Satelit Sevice) dan Ground Segment beserta pendukungnya.

“Namun yang menjadi masalah adalah dalam proses tersebut, kita menemukan perbuatan melawan hukum, yaitu ketika proyek ini dilaksanakan, tidak direncanakan dengan baik,” ungkapnya.

Bahkan, lanjut Febrie, saat kontrak dilakukan, anggaran belum tersedia dalam DIPA Kemhan Tahun 2015. Kemudian, dalam prosesnya ini juga ada penyewaan satelit dari Avanti Communication Limited yang seharusnya saat itu tidak perlu dilakukan.

“Tidak pelu menyewa karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi, masih ada waktu 3 tahun dapat digunakan. Tetapi dilakukan penyewaan jadi kita melihat ada perbuatan melawan hukum,” tandasnya.

?Bukan hanya itu, satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama, sehingga indikasi kerugian keuangan negara yang ditemukan berdasarkan hasil diskusi dengan auditor, diperkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar atau setengah triliun.

Uang setengah triliun rupiah itu berasal dari pembayaran sewa Satelit Arthemis dari Perusahaan Avant Communication Limited sekitar Rp41 miliar, biaya konsultan senilai Rp18,5 miliar, dan biaya arbitrase NAVAYO senilai Rp4,7 miliar.

“Selain itu, ada pula putusan arbitrase yang harus dilakukan pembayaran sekitar US$ 20 juta, dan inilah yang masih disebutkan sebagai potensi,” katanya.

Pembayaran US$ 20 juta itu masih menjadi potensi kerugian karena masih berlangsung dan melihat bahwa timbulnya kerugian atau potensi sebagaimana tadi disampaikan dalam persidangan arbitrase karena memang ada kejahatan yang dalam kualifikasinya masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, Febrie mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu telah dilakukan ekspose dan telah disepakati bahwa alat bukti sudah cukup untuk dilakukan penyidikan sehingga telah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-08/F.2/Fd.2/01/2022 tanggal 14 Januari 2022.

425