Jakarta, Gatra.com – Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) baru saja merilis temuan survei mengenai pelecehan seksual selama pandemi Covid-19 pada Senin (31/1).
Dari 3.037 responden yang mengalami pelecehan seksual, sejumlah 70,56% responden menyatakan bahwa mereka merasakan dampak dari pelecehan itu. Dampak tersebut menjadi beban tambahan di saat situasi sulit karena pandemi.
“Pandemi sudah sangat berat, ternyata masih harus bertemu dengan realita bahwa kita masih tidak aman dari pelecehan seksual,” ujar Program Director Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, dalam konferensi pers daring.
Selama pandemi Covid-19, lokasi-lokasi terjadinya pelecehan seksual semakin meluas. Sebanyak 100 responden mengatakan pelecehan seksual terjadi di fasilitas kesehatan, 29 responden menyebut tempat pemeriksaan tes Covid, dan 5 responden menyebut tempat karantina pasien Covid.
“Jadi saat pandemi banyak sekali masyarakat yang mengakses ruang-ruang seperti ini yang ternyata bukan menjadi ruang aman bagi masyarakat,” lanjut Anindya.
Tak hanya di ruang yang terkait dengan kesehatan, survei ini juga menunjukkan bahwa pelecehan seksual terjadi di ruang pendidikan. Meskipun selama pandemi ruang belajar bertransisi ke ruang daring, institusi pendidikan masih menjadi ruang tidak aman dari pelecehan seksual. Sebanyak 427 responden menyebut pelecehan seksual terjadi secara luring (offline) dan sebanyak 57 responden menyebut itu terjadi secara daring (online).
Bentuk-bentuk pelecehan seksual luring meliputi siulan (2.026 responden), lontaran komentar atas bagian tubuh (934), main mata (893), komentar seksis (795), diklakson (724), dan disentuh (602).
Sementara itu, bentuk-bentuk pelecehan seksual daring meliputi dikirimkan foto/video intim (646), komentar seksis (594), komentar atas tubuh (506), dipaksa kirim foto/video pribadi (337), dan dikuntit secara daring atau cyberstalk (206).
“Secara umum, mereka merasa tidak nyaman, kesal, marah selalu timbul ketika korban mengalami pelecehan,” ujar Anindya.