Jakarta, Gatra.com - Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia tahun 2021 mengalami kenaikan dari 37 ke 38. Namun, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai kenaikan tersebut hanyalah raihan semu.
Menurut Topan, kenaikan indeks terjadi karena aspek deregulasi ekonomi yang justru berimplikasi negatif terhadap masyarakat. Regresi demokrasi, kata Topan berkaitan besar terhadap skor IPK Indonesia di beberapa aspek yang menunjukkan kenaikan atau stagnasi.
"Regresi demokrasi kita itu berkelindan juga dengan apa yang terefleksikan CPI kemarin. meskipun CPI naik dari 37 ke 38. Bagi ICW, kami melihat ini adalah kenaikan yang semu karena dikontribusikan oleh aspek-aspek deregulasi ekonomi, yang kebijakan ini punya implikasi yang serius terhadap sektor masyarakat luas," kata Adnan dalam sebuah pertemuan daring, Ahad (30/1).
"Misalnya Omnibus Law itu kan dipuja oleh banyak investor, akan tetapi implikasinya kepada masyarakat itu banyak yang juga sudah mengkritisi betapa berbahayanya undang-undang ini," sambungnya.
Adnan menyampaikan bahwa skor IPK dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti aspek pemberantasan korupsi, demokrasi, hingga hukum. Adnan menjelaskan aspek demokrasi memiliki pengaruh besar dalam perolehan skor IPK. Namun, kata Adnan, saat ini aspek demokrasi mengalami penurunan.
"Kemudian kita lihat anjlok nilainya dari skor CPI kita, dari indikator yang membangun skor CPI itu adalah demokrasi variety index. Ini adalah sesuatu yang penting untuk melihat upaya-upaya pemberantasan korupsi di suatu negara. Bukan hanya dia stagnan tapi periode sekarang itu mengalami penurunan yang cukup signifikan nilainya," kata Adnan.