Jakarta, Gatra.com - Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amril menilai, rencana pihak Kepolisian RI melakukan pemetaan masjid demi menanggulangi terorisme dan paham radikal di Tanah Air, akan lebih besar dampak negatifnya atau madaratnya dari pada manfaat yang ingin dicapai.
Menurutnya, jumlah masjid di Indonesia yang lumayang banyak, per Maret 2021, terdapat 598 ribuan masjid se-Indonesia, menurut data Dewan Masjid Indonesia, bisa membuat kewalahan juru pantau masjid itu sendiri.
"Hingga tahun 2020 jumlah masjid adalah 800 hingga 900 ribu. Pemantauan terhadap suatu objek yang tidak kasat mata (paham, ideologi, isme) terhadap ratusan ribu masjid pasti sulit sekali dilakukan," papar Reza dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Ahad, (30/).
Karenanya, ia menilai program yang akan menggandeng Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan terkesan mirip The NYPD Muslim Surveillance Programme ini, bisa menuai masalah baru.
Menurut Reza, dibutuhkan parameter dan indikator yang akurat dan lengkap untuk menyimpulkan secara valid masjid mana saja yang menyebarkan radikalisme dan terorisme.
"Begitu pula dari sisi reliabilitas: ketika sebuah masjid dicap berafiliasi dengan terorisme, berapa lama cap itu akan berlaku? Pasti perlu monitoring berkala, dan itu mahal dari segi anggaran," ungkapnya.
Rencana pemetaan itu juga bisa menstigma masjid sebagai satu-satunya rumah ibadah yang dianggap bermasalah. Ini pertanda bias sekaligus gross generalization terhadap rumah ibadah tertentu.
Pemetaan juga bisa menggangu keharmonisan relasi antar umat Islam (jamaah masjid) sendiri. "Jadi saling menaruh prasangka. Bahkan polisi yang datang ke masjid sebatas untuk salat pun bisa disikapi sebagai orang yang mencurigakan," katanya.
Padahal, menurut Reza, isme-isme destruktif pada masa kini cenderung menyebar deras lewat situs-situs internet dan media sosial. Self-radicalization dan self-recruitment adalah mekanismenya. Penyebaran seperti itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun.
"Alhasil, dengan nature regenerasi teror sedemikian rupa, apa justifikasi Polri dan BPET MUI untuk melakukan pemetaan sekaligus pemantauan terhadap masjid?" ungkapnya.
Jika terlaksana, rencana program itu juga malah kontraproduktif bagi situasi kamtibmas serta berdampak negatif terhadap hubungan antara Polri dan masyarakat.
Sayang jika kesadaran yang sudah terbangun untuk melawan terorisme justru mundur akibat program pemetaan tersebut. "Apalagi andai nantinya warga yang merasa dirugikan menggugat Polri untuk bayar settlement, bisa terkuras anggaran Polri," katanya.
Kasus bayar settelement ini, pernah terjadi di Amerika ketika komunitas muslim di kota New York menuntut ke Kepolisian yang mengawasi mereka lewat program The NYPD Muslim Surveillance Programme. Hal ini dianggap pelanggaran privasi.
Pada akhirnya pengadilam memerintahkan agar pihak kepolisian New York memberikan kompensasi atau uang settlement atas gangguan yang ditimbulkan, sekitar 80 ribu dolar kepada masjid dan warga yang dirugikan.
Terkait rencana Polisi yang akan melakukan pendekatan ini secara lunak atau soft approach, Reza meragukan hal itu bisa dilakukan secara efektif. "Ekses yang justru mungkin terjadi adalah hard hit. Jadi, timbanglah kembali. Batalkan, lebih baik lagi," ujarnya.