Jakarta, Gatra.com - Sawitku Masa depanku (Samade) minta pemerintah segera membatalkan aturan main Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sejatinya berlaku sejak 1 Februari 2022 itu.
Kalau pemerintah masih mau menstabilkan harga minyak goreng, silahkan saja memakai duit Bea Keluar (BK) yang didapat dari ekspor sawit.
"Semestinya Kementerian Perdagangan (Kemendag) membikin kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk yang saat ini sangat mahal, bukan malah membuat HET CPO. Sebab dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) di atas Rp3000 saja, petani masih menjerit oleh harga pupuk yang sangat tinggi itu," kata Ketua Umum Samade, Tolen Ketaren saat berbincang dengan Gatra.com, tadi siang.
Dulu kata lelaki 50 tahun ini, harga Crude Palm Oil (CPO) sempat Rp5000 perkilogram,"Kemana Kemendag saat itu, kenapa enggak membikin HET CPO Rp9300?," ayah 5 anak ini bertanya.
Nah sekarang kata Tolen, beranikah Kemendag membikin DPO pupuk? Katakanlah HET NPK 16.16.16 Yaramila Rp7000 perkilogram, KCL Rp5.500 perkilogram, TSP Rp6000 perkilogram dan Urea Rp3.750 perkilogram.
Baca juga: Samade: Ulah Kemendag, Petani Sawit Tekor Rp6 Triliun Sebulan
Sama seperti Tolen, Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gus Dalhari Harahap juga meminta DMO dan DPO itu dibatalkan.
Sebab dengan CPO dari perusahaan pembeli CPO lokal yang notabene semuanya pemilik kebun kelapa sawit, kebijakan stabilitas harga minyak goreng itu, bisa dilakukan.
Dibilang begitu lantaran kebutuhan CPO untuk kebijakan stabilitas harga minyak goreng tadi kata Gus hanya 20% dari total ekspor.
"Dari kebun inti mereka bisa menutupi itu. Tapi itu tadilah, perusahaan enggak mau rugi, yang ada malah langsung memancing di air keruh," katanya.
Mestinya kata Gus, sebelum aturan DMO dan DPO dibuat, pemerintah sudah punya data valid berapa sesungguhnya total ekspor 17 perusahaan refinery yang ada.
Data-data ini kemudian divalidasi untuk mengambil kewajiban 20% DMO. Dengan cara seperti ini, harga CPO versi DMO dan harga CPO mekanisme pasar kelihatan. Biar komplit, label DMO dibikin pada kemasan migor domestik itu.
Setelah itu beres, migor domestik tadi kemudian didistribusikan ke Bulog. "Ingat, selama ini Bulog adalah lembaga distribusi yang sudah sampai ke kabupaten kota. Artinya, dengan melibatkan Bulog dan pemda maupun pemko, distribusi migor pasti beres," tambahnya.
Sekarang kata Gus, apa ada jaminan produk perusahaan refinery itu dibuat untuk subsidi? "Wong antara minyak subsidi dan tidak subsidi enggak ada beda kemasannya kok," katanya.
Dua hari lalu, persis sehari setelah pengumuman DMO dan DPO itu, harga CPO di pasar lokal bergejolak.
Ini terjadi lantaran Buyers menebar tender pembelian CPO lokal yang gila-gilaan. Di Belawan misalnya, Sinar Mas mematok harga Rp11 ribu, Best Rp10 ribu, Musim Mas Rp8.455 dan Ctr Rp15.402.
Di Dumai, SIIP Rp13.400, IMT Rp11 ribu, IBP Rp8.455, PMA Rp14 ribu dan Ctr Rp15.402. Hanya saja semua harga pembelian itu tidak diterima alias WithDraw (WD) oleh penjual yang notabene PT Perkebunan Nusantara 3 dan 5.
Harga itu tidak di-accept lantaran sehari sebelumnya harga lokal CPO masih tinggi, masih di atas Rp15 ribu per kilogramnya. Dan Ideal Price dalam negeri masih Rp15.402.
"Mestinya harga pasar diberlakukan dulu baru dikurangi dengan DMO 20%. Ini kan enggak, pokoknya price list yang ditebar itu ya semuanya untuk DMO. Kalau kayak begini ceritanya, untung mereka gila-gilaan lantaran harga CPO dunia naik terus," katanya.
Abdul Aziz