Jakarta, Gatra.com – Dosen Universitas Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, memastikan bahwa mempunyai data-data valid sehingga berani melaporkan dua putra Presiden kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.
“Mengenai apakah ada bukti-bukti, ada data-data, saya meyakinkan, saya punya data valid yang dibawa ke KPK. Nanti urusan prosesnya silakan KPK memverifikasi,” tandasnya dalam suatu diskusi virtual pada pekan ini.
Ubed, demikian dia kerap disapa, mengaku melaporkan kedua putra petinggi di Republik ini berawal dari tanda tanya besar publik soal pembelian 188,24 juta lembar saham di Bursa Efek Idonesia (BEI). “Itu diketahui banyak orang dan dipertanyakan,” ujarnya.
Menurut Ubed, mengapa hal itu dipertanyakan, karena yang bersangkutan adalah anak pejabat publik, bukan anak orang biasa. Banyak prospektif teori, pejabat publik harus mengetahui dan memegang etika publik.
Ubed juga mengaku sempat mengecek bidang usaha sehingga anak Presiden tersebut bisa membeli saham yang harganya sekitar Rp92,2 miliar tersebut. Dari akses yang ada, diketahui perusahaan perusahaan-perusahaan yang digunakan dan afiliasinya, termasuk perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan yang luasnya sangat besar.
“Jadi tidak hanya ekosistem lingkungan yang rusak, tetapi juga kesehatan masyarakat dan itu kerugian negara dalam makna yang luas,” ujarnya.
Lebih lanjut Ubed menyampaikan, terkait itu, ia mensinyalir jangan-jangan ada praktik korupsi karena korupsi itu bukan hanya memakan uang negara. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat jelas bahwa ada juga berbentuk suap, gratifiksi, dan seterusnya.
Karena itu, ia menduga jangan-jangan itu merupakan pola baru dalam praktif suap dan gratifiksi, yakni dalam bentuk saham. “Di situ di antara pertanyaan-pertanyaannya yang kami ajukan bahwa patut diduga atau dugaan korupsi pencucian uang. Itu substansi yang di antaranya kami ajukan ke KPK,” katanya.
Ubed mengungkapkan, banyak teori yang menjelaskan penyebab merajalelanya korupsi, di antaranya karena praktik capitalism yang salah satu cirinya adalah munculnya pengusaha-pengusaha baru bukan karena otentisitas bisnisnya, tetapi lebih karena relasi dengan kekuasaan, penguasa, ataupun mereka yang mempunyai akses.
Sedangkan soal apa spirit dan motif melaporkan kedua putra petinggi negeri tersebut, Ubed mengatakan, hanya ingin mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan menjadikan Indonesia sebagai negara maju melalui semangat Reformasi 1998.
“Ada TAP MPR No 11 Tahun 98, negara itu bersih dan terbebas dari KKN. Di semangatnya memang untuk menghentikan praktik KKN,” ujarnya.
Terlebih lagi, lanjut Ubed, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Menurutnya, masih kurang menggembirakannya indeks persepsi korupsi Indonesia juga kian mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
“Kita juga ingin cita-cita Reformasi berjalan dengan baik dan ingin negara ini menjadi negara maju di mana demokrasinya sehat dan korupsinya makin terkikis. Itu motif utama saya,” tandasnya.
Kuasa hukum Ubedilah Badrun, AH Wakil Kamal, menjelaskan, warga negara mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada penegak hukum bila mengetahui atau menduga ada tindak pidana. Menurutnya, kalau laporan itu ke KPK, tentunya ada kaitannya dengan dugaan tindak pidana korupsi.
Melaporkan atau mengadukan kepada lembaga yang berwenang, lanjut Kamal, itu juga hak konstitusional warga negara karena dilindungi konstitusi. Dalam Pasal 41-42 UU Tipikor, itu diatur tentang partisipasi masyarakat untuk mencegah dan melakukan pemberantasan tidak pidana korupsi.
“Jadi setiap warga negara harus punya kepedulian untuk bagaimana Republik ini, negara betul bebas dari KKN. Inilah tanggung jawab Kang Ubed. Makanya Kang Ubed menyampaikan itu,” tandasnya.
Sedangkan kalau ada pertanyaan apakah punya bukti, kata Kamal, itu merupakan pertanyaan keliru, karena yang membuktikan itu adalah jaksa di persidangan atau pengadilan setelah sebelumnya penyidik menetapkan tersangka berdasarkan minimal dua alat bukti permulaan yang cukup. Itu adalah tugas penyidik.
“Tugas jaksa adalah membuktikan. Kalau pelapor hanya menyiapkan data-data dan analisa hukum, kemudian ditindaklanjuti penyidik, makanya kita menggunakan dugaan ada fuzzel-fuzzel dari perbuatan tindak pidana korupsi, yang merekonatruksikan secara utuh adalah tugas penegak hukum, dalam hal ini tindak pidana yang kita laporkan ke KPK, ya KPK,” tandasnya.
KPK harus merangkai potongan-potongan fuzzle yang belum tersusun rapi tersebut. Untuk bisa menyusunnya, KPK bisa menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Saya kira data-data serta argumentasi dan dokumen-dokumen yang disampaikan ke KPK itu sangat kuat bahwa ada indikasi yang mencurigakan karena ada transaksi kalau bahasa UU TPPU itu ada dugaan transaksi yang mencurigakan,” ujarnya.
Kamal juga menyampaikan, berdasarkan penelusaran pihaknya bahwa kedua anak Presiden tersebut mendirikan lebih dari 20 perusahaan. “Luar biasa, itu tidak mudah, pasti punya duit yang luar biasa. Dalam jangka 2017, 2018, 2019 itu hampir 20 perusahaan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai pelaporan Ubed ke Polda Metro Jaya atas dugaan fitnah atau pencemaran nama baik sangat terburu-buru, karena perkara pokoknya saja belum diproses, sehingga belum ada putusan bahwa itu terbukti atau tidak terbukti sebagai dasar itu fitnah atau mencemarkan nama baik.
Pelaporan balik juga membuat masyarakat takut melaporkan dugaan tindak pidana korupsi meski UU Tindak Pidana Korupsi mengatur soal partisipasi publik untuk mencegah dan memberantas korupsi. Terlebih lagi, pelapor korupsi bisa mendapatkan Rp200 juta pun tidak serta merta masyarakat giat melakukannya.
Menurut Ray, hal itu terjadi karena selain rentan dilaporkan balik, karena pelapor juga benar-benar harus bersih dari perbuatan koruptif. “Perlu diketahui, orang yang melaporkan orang lain melakukan tindak pidana korupsi, itu seperti mengunci dirinya untuk tidak melakukan hal yang sama. Itu asumsinya,” tandas dia.
Ray berpendapat, adanya pihak yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi harusnya mendapat apresiasi dan biarkan terlebih dahulu pihak penegak hukum membuktitkannya, bukan malah buru-buru dilaporkan balik. Upaya pelaporan itu sangat bagus untuk pemberantasan korupsi dan membesarkan gerakan untuk tidak melakukan korupsi karena asumsi di atas.
Kalau pelapor Ubed menggunanak Pasal 317 KUHP, menurut Ray, ini belum masuk unsur karena peristiwa finah dan pencemaran nama baik itu belum terjadi. Sebab, dugaan yang dilaporkan Ubed pun belum dinyatakan terbukti atau tidak terbukti oleh pengadilan.
Selain itu, Ray mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) pihak yang melaporkan Ubed. Karena yang berhak melaporkan Ubed adalah pihak terlapor. Pelapor Ubed tersebut tidak mempunyai hubungan dengan dua pihak yang dilaporkan Ubed.
Selain bukan pihak yang dilaporkan Ubed dan tidak mempunyai relasi khusus, pelapor Ubed itu juga bukan kuasa hukum dari 2 orang yang dilaporkan Ubed ke KPK. Ray menyut pihak yang melaporkan Ubed ke polisi mengklaim karena dia bangsa Indonesia.
“[Pelapor Ubed] hebat, bisa tiap hari ke kantor polisi melaporkan orang yang tercemarkan nama baiknya, karena orang itu adalah bagian dari rakyat Indonesia. Ya kan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Ray mendorong pihak terkait membuat UU Pembuktian Terbalik. Dengan adanya UU tersebut, maka penegak hukum tidak lagi harus menunggu ada pihak yang melaporkan, tetapi langsung meminta seseorang atau pihak tertentu untuk menyampaikan bahwa yang diperolehnya itu adalah denga cara-cara yang legal. “Supaya tidak perlu ada korban-korban seperti Ubedilah,” tandasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ray juga menyayangkan petinggi partai hingga pihak-pihak tertentu yang langsung mengaitkan Ubed dengan partai tertentu bahkan menyasar pribadi yang tidak terkait dengan perkara pokok.
“Inilah pembunuhan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kalau Anda tidak menemukan kelemahan argumennya, Anda serang pribadinya. Kira-kira gitu,” katanya.
Adapun Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Badiul Hadi, menyampaikan, meskipun semua orang berhak untuk berusaha dan menjadi kaya, khususnya pihak-pihak yang berada dalam lingkaran kekuasaan, harus melakukannya began cara-cara yang legal.
“Transparansi, keterbukaan kepada masyarakat. Apa sih yang dilkukan sehingga layak untuk mendapatkan suntikan dana, seperi yang terjadi saat ini. Kenapa harus dia? Itu jadi catatan penting ketika berada di lingkaran kekuasaan, baik di pusat, daerah hingga desa, conflict of interest itu sangat-sangat kental di sana,” ujarnya.
Hadi menyampaikan, siapa pun yang mempunyai bukti-bukti kuat dan valid berhak melaporkan dugaan korupsi kepada penegak hukum, baik itu KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian karena ini diatur dalam UU Tipikor.
Dalam posisi ini, kata Hadi, KPK akan memverifikasi dan validasi data yang dikirimkan oleh Ubed terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkannya. Menurutnya, biarkan proses hukum yang akan menentukan, apakah laporan Ubed itu layak ditindaklanjuti atau tidak oleh KPK.
“Mekanisme itu kita serahkan saja ke KPK, tetapi sebagai warga negara, Kang Ubed itu sudah menjalankan hak konstitusionalnya, yaitu menyampaikan itu,” tandasnya.