Jakarta, Gatra.com - Ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, mengindikasikan bahwa proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) minim partisipasi publik.
Seperti diketahui, DPR RI telah resmi mengesahkan RUU IKN menjadi UU pada Selasa, (18/1/2022). Padahal, DPR baru menetapkan pimpinan dan keanggotaan pansus untuk membahas RUU tersebut bersama pemerintah pada 7 Desember 2021. Dengan demikian, tahap pembahasan hingga pengundangan RUU menjadi UU tersebut hanya memakan waktu 43 hari.
“Proses birokratiknya berjalan, itu bagus. Namun proses pembahasannya itu sendiri tidak lantas kemudian bisa dikecilkan 43 hari cukup. Tidak bisa karena dalam proses pembahasan itulah seharusnya ada partisipasi,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi publik daring yang digelar Sahabat ICW, Jumat, (21/1/2022).
Bivitri merujuk pada UU Nomor 12 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 Ayat (1) UU tersebut mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan.
Lebih lanjut lagi, partisipasi publik tergolong ke dalam aspek keterbukaan sebagai salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Hal ini tertuang pada Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011.
Bivitri kemudian menyebut bahwa partisipasi masyarakat ini sudah lebih jauh diterjemahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tentang UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat beberapa waktu lalu. MK menyatakan bahwa partisipasi masyarakat tak boleh sebatas formalitas, tapi harus partisipasi yang bermakna.
Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, menegaskan tiada penolakan yang dilakukan masyarakat setempat terkait penetapan IKN di wilayahnya. “Masyarakat Kaltim sudah mendukung penuh. Tidak masalah, tidak ada klaim-klaim, apalagi penolakan,” katanya seperti dilansir Antara News, Kamis, (20/1)
Namun, klaim Isran tersebut tak senada dengan sikap penolakan yang dilontarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, sebagai salah satu anggota koalisi tersebut, mengecam penetapan IKN di Kaltim.
LBH Samarinda menilai bahwa RUU IKN cacat prosedur dan berpotensi mengancam keselamatan ruang hidup rakyat maupun satwa langka yang terletak di area dekat dengan wilayah IKN itu.
“Megaproyek IKN sendiri berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan [Suku] Paser serta warga transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu hektar,” tulis siaran pers LBH Samarinda, Rabu, (19/1/2022).
Pemerintah sebetulnya sudah menyampaikan bahwa RUU ini telah disosialisasikan dalam bentuk konsultasi publik ke beberapa universitas, di antaranya Universitas Hasanuddin di Makassar dan Universitas Sumatera Utara di Medan pada 12 Januari 2022.
Pihak pemerintah dan anggota pansus RUU IKN DPR RI mengklaim bahwa konsultasi publik ini merupakan bentuk kepastian bahwa mereka telah melibatkan seluruh pihak, terutama akademisi.
Akan tetapi, menurut Bivitri, hal tersebut tak cukup. Menurutnya, proses legislasi harus dibicarakan secara mendalam dengan orang-orang yang terkena dampak, kelompok rentan, dan kepentingan warga secara luas.
“Jangan sampai kedatangan dan persetujuan ahli-ahli itu sudah dianggap sebagai partisipasi dan jangan sampai kuantitas diskusi di kampus disebut partisipasi. Bukan itu yang diinginkan oleh Konstitusi kita,” tandas Bivitri.