Jakarta, Gatra.com - Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2018 prevalensi stunting pada bayi di bawah lima tahun (balita) telah turun mencapai 30%. Namun angka ini masih lebih rendah daripada batas toleransi World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia yaitu 20%.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya, via Zoom dalam webinar bertajuk "Sosialisasi Pemahaman Hubungan Perilaku Merokok dan Stunting untuk BKKBN Perwakilan Provinsi dan Tim Pendamping Keluarga (TPK)", yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube BKKBN OFFICIAL pada Kamis, (20/1).
"Jadi hal ini menggambarkan bahwa stunting merupakan permasalahan gizi nasional yang harus mendapatkan perhatian khusus," ujarnya.
Aryana menerangkan, stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami akibat konsumsi gizi yang buruk, infeksi, dan stimulasi psikososial yang tidak cukup. Stunting akan berdampak pada kemampuan kognitif yang buruk, performa pendidikan yang tidak optimal, hingga peningkatan risiko penyakit kronis.
Di sisi lain, tuturnya, beberapa hasil riset termasuk dari PKJS UI menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok cenderung memiliki pertumbuhan yang mengalami gangguan atau stunting. "Dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa orang tua perokok," kata Aryana, menurut data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS).
Selain itu, ia mengatakan dampak konsumsi rokok bersifat multi dimensi. Selain kesehatan perokok dan keluarganya, termasuk stunting, rokok pun berdampak buruk pada ekonomi keluarga hingga kemiskinan.
"Perilaku merokok orang tua berpengaruh terhadap intelegensi anak secara tidak langsung," ucap Aryana.
Padahal, lanjutnya, Indonesia akan menghadapi bonus demografi mulai dari sekarang hingga sekitar 10-15 tahun mendatang. Maka dari itu, penting sekali untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas.
"Bonus demografi tersebut tidak dapat optimal dimanfaatkan jika kesehatan anak dan pemuda buruk. terutama akibat adanya konsumsi merokok. Maka, upaya pengendalian konsumsi rokok dan percepatan penurunan stunting perlu dilakukan beriringan karena saling terkait dan mendukung target RPJMN [Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional] 2024," ujar Aryana.