Nuku'alofa, Gatra.com– Pemerintah Tonga mengatakan negara kepulauan Pasifik itu menghadapi “bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya”. Hal ini terjadi setelah letusan gunung berapi besar yang memicu tsunami dan menyelimuti sebagian negara berpenduduk sekitar 100.000 orang itu dengan abu vulkanik yang tebal.
Dalam pernyataan pertamanya sejak gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha'apai meletus pada hari Sabtu, 15 Januari 2022, Kantor Perdana Menteri (PM) Tonga mengonfirmasi pada Selasa malam, (18/1) bahwa ada 3 orang yang tewas akibat bencana alam tersebut, termasuk seorang wanita Inggris.
“Sebagai hasil dari letusan, ‘gumpalan jamur’ vulkanik dilepaskan mencapai stratosfer dan memanjang secara radial menutupi seluruh Pulau Tonga, menghasilkan gelombang tsunami yang naik hingga 15 meter [setara dengan 49 kaki], menghantam pantai barat Kepulauan Tongatapu, 'Eua dan Kepulauan Ha’apai,” kata pernyataan itu, sebagaimana dilansir dari stasiun Al Jazeera pada Rabu, (19/1).
Lanjut pernyataan tersebut, karena parahnya kerusakan yang mereka amati, pemerintah mengatakan tim penyelamat tambahan telah dikirim ke pulau Mango, Fonoifua dan Nomuka. Kemudian semua rumah di Mango, di mana sinyal marabahaya terdeteksi, sudah hancur dan hanya 2 rumah yang masih berdiri di Fonoifua, sementara ada kerusakan parah di Nomuka.
Kapal Angkatan Laut Tonga sedang dikirim ke pulau-pulau yang terkena dampak dengan pasokan air dan makanan yang mendesak. Serta, upaya evakuasi dari daerah yang paling parah juga tengah berlangsung.
Adapun 2 kapal dari Angkatan Laut Selandia Baru, yang membawa tim penyelamat, peralatan, dan persediaan, sudah dalam perjalanan ke Tonga dan diperkirakan akan tiba pada hari Jumat, 21 Januari 2022, tergantung pada kondisi cuaca. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan juga siap memberikan bantuan, tetapi mungkin harus melakukannya dari jarak jauh karena pandemi virus corona. “Tonga memiliki kebijakan bebas COVID-19 yang sangat ketat, mereka adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang tetap bebas dari COVID-19,” kata Koordinator PBB di Fiji Jonathan Veitch kepada wartawan pada Rabu pagi, (19/1).
Ia juga menyebut bahwasanya mereka tak akan melakukan apa pun untuk mengancam keamanan protokol kesehatan (prokes) dan keselamatan populasi mereka terkait COVID-19. Oleh sebab itu, akan menyebabkan mereka lebih banyak kesulitan daripada yang sudah mereka alami sebelumnya.
Sedangkan Palang Merah Tonga telah melaporkan adanya genangan air asin yang tergenang secara luas akibat tsunami serta kontaminasi abu dari persediaan air tawar. “Tim Palang Merah segera mengirimkan air minum dan peralatan bantuan untuk orang-orang yang kehilangan segalanya,” tulis Kepala Delegasi Pasifik untuk International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) atau Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Katie Greenwood, dalam sebuah pernyataan dari surat elektronik.
Di samping itu, letusan tersebut merupakan yang terbesar sejak Pinatubo di Filipina pada tahun 1991 silam. Letusan dahsyat kali ini terdengar sampai Fiji dengan lebih dari 750 kilometer (setara dengan 466 mil) jauhnya.