Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) memeriksa direktur utama (Dirut) dan presiden direktur (Presdir) PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK) terkait kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) Tahun 2015–2021.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Jakarta, Selasa (18/1), menyampaikan, Dirut PT DNK tersebut adalah SW. Dia juga merupakan tim ahli Kemhan.
Sedangkan presdir PT DNK, adalah AW. Mereka diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini. “Diperiksa terkait Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° BT pada Kementerian Pertahanan Tahun 2015–2021,” ujarnya.
Penyidik memeriksa kedua direksi PT DNK tersebut karena memerlukan keterangan mereka soal kasus dugaan korupsi satelit yang mereka dengar, lihat, dan alami sendiri. Pemeriksaan tersebut untuk kepentingan penyidikan dan menemukan fakta hukum.
Selain melakukan pemeriksaan, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung juga menggeledah apartemen SW. Selain itu, penyidik juga menggeledah 2 kantor PT DNK di Jalan Prapanca Raya dan Panin Tower Senayan City, Jakarta Selatan.
Adapun PT DNK merupakan pemegang Hak Pengelolaan Filing Satelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan Satelit atau menggunakan Spektrum Frekuensi Radio di Orbit Satelit tertentu.
Sebelumnya, Kejagung pada Jumat (14/1), menyatakan bahwa pihaknya mulai menyidik kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan Satelit slot Orbit 123° BT pada Kemhan tahun 2015–2021.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, mengatakan, pihaknya mulai menyidik kasus tersebut setelah menaikkannya dari penyelidikan. Adapun penyelidikan kasus ini berlangsung sepekan.
Dalam penyelidikan tersebut, penyelidik Kejagung telah memeriksa beberapa pihak, baik dari swasta atau rekanan pelaksana maupun dari beberapa orang di Kemhan sebanyak 11 orang.
Kejagung juga berkoordinasi dengan beberapa pihak yang dapat menguatkan pencarian barang bukti, salah satunya auditor di Badan Pengawasan Kuangan dan Pembangunan (BPKP) ketika menyelidiki kasus tesebut.
Pelibatan auditor BPKP tersebut, lanjut Febrie, sehingga tim penyelidik memperoleh masukan sekaligus laporan hasil audit tujuan tertentu dari BPKP. Selain itu juga, didukung dokumen lain yang dijadikan alat bukti dalam proses pelaksanaan itu sendiri.
Jampidsus mengatakan, kasus dugaan korupsi ini berawal pada tahun 2015 sampai dengan 2021 ketika Kemhan melaksanakan Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° BT. Ini merupakan bagian dari Program Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) di Kemhan, antara lain pengadaan satelit Satkomhan MSS (Mobile Satelit Sevice) dan Ground Segment beserta pendukungnya.
“Namun yang menjadi masalah adalah dalam proses tersebut, kita menemukan perbuatan melawan hukum, yaitu ketika proyek ini dilaksanakan, tidak direncanakan dengan baik,” ungkapnya.
Bahkan, lanjut Febrie, saat kontrak dilakukan, anggaran belum tersedia dalam DIPA Kemhan Tahun 2015. Kemudian, dalam prosesnya ini juga ada penyewaan satelit dari Avanti Communication Limited yang seharusnya saat itu tidak perlu dilakukan.
“Tidak pelu menyewa karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi, masih ada waktu 3 tahun dapat digunakan. Tetapi dilakukan penyewaan jadi kita melihat ada perbuatan melawan hukum,” tandasnya.
Bukan hanya itu, satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama, sehingga indikasi kerugian keuangan negara yang ditemukan berdasarkan hasil diskusi dengan auditor, diperkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar atau setengah triliun.
Uang setengah triliun rupiah itu berasal dari pembayaran sewa Satelit Arthemis dari Perusahaan Avant Communication Limited sekitar Rp41 miliar, biaya konsultan senilai Rp18,5 miliar, dan biaya arbitrase NAVAYO senilai Rp4,7 miliar.
“Selain itu, ada pula putusan arbitrase yang harus dilakukan pembayaran sekitar US$ 20 juta, dan inilah yang masih disebutkan sebagai potensi,” katanya.
Pembayaran US$ 20 juta itu masih menjadi potensi kerugian karena masih berlangsung dan melihat bahwa timbulnya kerugian atau potensi sebagaimana tadi disampaikan dalam persidangan arbitrase karena memang ada kejahatan yang dalam kualifikasinya masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, Febrie mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu telah dilakukan ekspose dan telah disepakati bahwa alat bukti sudah cukup untuk dilakukan penyidikan sehingga telah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-08/F.2/Fd.2/01/2022 tanggal 14 Januari 2022.