Jakarta, Gatra.com – “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut [Heru Hidayat] oleh karena itu dengan pidana nihil,” demikian salah satu amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Heru Hidayat, terdakwa perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri.
Majelis hakim yang diketuai Ignatius Eko Purwanto membacakan putusan perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Selasa (18/1). Majelis hakim hanya menghukum terdakwa Heru Hidayat membayar uang pengganti sejumlah Rp12,643 triliun. Untuk sementara, Heru Hidayat selamat dari hukuman mati.
“Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp12.643.400.946.226,” kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) mengutip amar putusan majelis hakim.
Uang pengganti sejumlah Rp12,6 tirliun tersebut diperhitungkan dengan barang bukti atau aset milik terdakwa yang disita untuk dilelang. Apabila terdapat kelebihan pengembalian uang pengganti hasil lelang dikembalikan kepada terdakwa Heru Hidayat.
Sebaliknya, jika terdapat kekurangan uang pengganti maka harta terdakwa Heru Hidayat dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lambat 1 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri ini, Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris (Preskom) PT Trada Alam Minera terbukti melanggar dakwaan Kesatu Primair, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan untuk tindak pidana pencucian uang, majelis hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan kedua Primair, yakni Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Majelis hakim menjatuhkan vonis tersebut setelah mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam pebuatan terdakwa Heru Hidayat. Adapun hal yang memberatkan, di antaranya pebuatan terdakwa Heru Hidayat bersama-sama terdakwa lain telah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar yakni Rp22,788 triliun berdasarkan hasil audit Badan Pemerika Keuangan (BPK).
Kemudian, kata Rosmina, perbuatan terdakwa Heru Hidayat tidak mendukung program pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; perbuatan terdakwa terencana, terstruktur dan masif; perbuatan terdakwa menimbulkan 'distrust' atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap kegiatan keasuransian dan pasar modal; perbuatan terdakwa bisa berdampak pada stabilitas negara, dan tidak mengakui kesalahan.
Sedangkan untuk hal meringankan menurut majelis hakim, yakni terdakwa Heru Hidayat bersikap kooperatif, bersikap sopan di persidangan, dan merupakan tulang punggung keluarga.
Meski sepakat dengan tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Kejati Jaktim) yakni terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang dalam perkara Asabri, namun majelis hakim tidak sependapat dengan hukuman mati yang dituntutkan JPU.
Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya yang dibacakan Ali Muhtarom, menyampaikan, ancaman perampasan kemerdekaan berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara seumur hidup.
Kemudian, lanjut Ali, ketentuan Pasal 67 KUHP menyatakan jika terdakwa telah divonis seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.
Menurut majelis, meski terdakwa Heru Hidayat terbukti secara dan meyakinkan melakukan korupsi dan pencucian uang, tetapi undang-undang secara imperatif menentukan jika orang dijatuhi pidana mati atau seumur hidup, di samping tidak boleh dijatuhi pidana selain pengumuman hukuman lain oleh majelis hakim sehingga majelis hakim mengatakan ketentuan tersebut mutlak harus dipedomani.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut meski terdakwa bersalah tetapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka pidana yang dijatuhi dalam perkara a quo adalah nihil,” ujar Ali.
Perlu diketahui, sebelumnya Heru Hidayat divonis pidana penjara seumur hidup dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya serta tindak pidana pencucian uang yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp16,807 triliun. Putusan tesebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Majelis hakim menyampaikan alasan tidak setuju dengan tuntutan pidana hukuman mati terhadap Heru Hidayat yang dimintakan JPU karena JPU telah melanggar asas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan.
Alasan selanjutnya, kata Ali, majelis menolak menjatuhkan hukuman mati terhadap Heru Hidayat karena JPU tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan Heru Hidayat saat melakukan tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut Ali menyampaikan alasan seterusnya, yakni berdasarkan fakta di persidangan terbukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi saat situasi aman. Selain itu, Heru Hidayat tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan sehingga beralasan untuk mengesampingkan tuntutan hukuman mati.
Sebelumnya, Tim JPU Kejari Jaktim menuntut terdakwa Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua, yakni Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).