Jakarta, Gatra.com - Tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa diterapkan. Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana hal itu bertentangan secara prinsip dan yuridis-positivis.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati, keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana.
“Kalau kasus Asabri kan tidak masuk dalam kondisi tertentu itu. Jadi, secara undang-undang juga tidak tepat (dijatuhi hukuman mati). Kalau mengikuti pedoman Perma Nomor 1 Tahun 2020, kasus Asabri tidak masuk dalam kondisi tertentu. Walaupun hakim bisa menyimpangi pedoman tersebut, tetapi syarat ketat,” tandas Dio.
Baca juga : Ini Kronologi Korupsi Asabri Rugikan Negara Rp23,7 Triliun
Meski demikian secara prinsip menurut Dio hukuman mati tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana.
Kalau korupsi, sebenarnya menurut Dio menjadi hal utama kerugian negara akibat tindakan korupsi itu. Tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi tidak akan menyelesaikan akar masalah dari kasus korupsi. Seharusnya yang paling penting menurutnya, kejar asetnya atau bagaimana kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan itu bisa kembali ke negara lagi.
Baca juga : Triliunan Duit Negara di PT ASABRI Digarong, Pakar Bilang ...
Tuntutan hukuman mati JPU terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat juga sudah disoroti dan dikritik oleh LSM pegiat antikorupsi dan HAM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi. Menurut dia, belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.
“Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan. Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal," ujar Kurnia kepada wartawan, Rabu (8/12/2021) lalu.
Baca juga : Pakar UGM: Tinjau Kembali Tuntutan Hukuman Mati ...
Kurnia juga mengaku kaget dengan tuntutan hukuman yang tinggi oleh JPU dalam perkara Jiwasraya dan Asabri. Sementara tuntutan JPU dalam kasus yang melibatkan jaksa, seperti kasus Pinangki Sirna Malasari, termasuk rendah.
“ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum melakukan banyak kejahatan, dan bekerja sama dengan buronan malah sangat rendah?” kritik Kurnia.