Jakarta, Gatra.com - Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, angka stunting di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 30,8%. Angka ini menurun daripada tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2013 37,2% dan 2007 sehesar 36,8%.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Satuan Tugas Air Susu Ibu Ikatan Dokter Anak Indonesia (Satgas ASI IDAI) Klara Yuliarti, via Zoom dalam jumpa pers virtual bertajuk "Peluncuran Modul Indonesian Breastfeeding Course for Clinician (BFCC)" pada Jumat, (14/1).
Mengutip dari bkkbn.go.id pada Jumat, 14 Januari 2022, stunting adalah kekurangan gizi pada bayi di 1000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak.
Sementara, Klara menuturkan, pada Rapat Terbatas (Ratas) mengenai strategi percepatan penurunan stunting yang digelar pada Selasa, 11 Januari, pemerintah menargetkan prevalensi stunting di tahun 2024 mendatang sebesar 14%. "Ya bisa dikatakan ambisius ya jadi 14% pada 2024, yang mana itu artinya tinggal 2 tahun lagi," ucapnya.
Selain itu, Klara mengatakan bahwasanya stunting itu berkaitan dengan masa depan generasi penerus bangsa. Ia juga menyebut stunting dapat disebabkan oleh kurangnya asupan protein hewani dan bagaimana deteksi dini dari stunting.
Terkait siklus stunting, kata Klara, itu dapat berulang ke generasi berikutnya. "Jadi kalo seorang anak yang stunting, kemudian dia berkembang, tumbuh jadi remaja putri kemudian stunting, akan bisa menghasilkan anak yang stunting juga," terangnya.
Oleh karena itu, Klara menyebut siklus ini harus dipotong atau dicegah di 0-2 tahun pertama. Karena dua tahun pertama ini adalah masa di mana orang tua atau wali masih dapat mengembalikan kecerdasan anak atau plastisitas otak.
"Jadi, stunting ini memang penyebabnya itu multifaktorial. Mulai dari ibunya, kelahiran. Karena itu, BKKBN [Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional] juga terlibat dalam hal pemutusan rantai stunting ini ya, kemudian masalah sosio ekonomi juga ada ya," ujarnya.