Jakarta, Gatra.com- Pakar Hukum yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Nur Basuki Minarno memprediksikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan putusan blanko atau nol terkait hukuman pidana penjara terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat.
Pasalnya, Heru Hidayat sudah divonis penjara seumur hidup dalam kasus yang lain, yakni kasus Jiwasraya. “Dalam kasus Jiwasraya, Heru Hidyat sudah dipidana penjara seumur hidup, maka di dalam perkara Asabri, jika majelis hakim menyatakan Heru Hidayat itu terbukti bersalah melakukan tidak pidana sebagaimana dalam dakwaan, maka di amar putusannya dinyatakan pidananya, namun pidana blanko. Artinya pidana penjaranya nol,” ujar Nur saat dihubungi wartawan, Selasa (11/1/2022).
Nur menjelaskan, bahwa pidana penjara seumur hidup merupakan pidana penjara maksimun yang berlaku di Indonesia. Artinya, sepanjang hidupnya, terpidana tersebut berada di dalam penjara. Jika dalam suatu kasus, terpidana seperti Heru Hidayat sudah divonis pidana penjara seumur hidup, maka dalam kasus-kasus lain di mana yang bersangkutan terbukti bersalah, tidak bisa lagi dijatuhi hukuman penjara.
“Karena apa? Karena Indonesia tidak menerapkan pemidanaan penjara komulatif seperti di Amerika Serikat, di mana terdakwa bisa divonis pidana penjara 500 tahun. Di Indonesia, paling pidana penjara terberat adalah pidana penjara tertinggi ditambah sepertiga-nya. Tetapi kalau sudah pidana penjara seumur hidup, maka pidana terberat tidak berlaku lagi karena itu yang sudah yang paling berat, selama hidupnya berada di penjara,” terang Nur.
Lebih lanjut, Nur menilai majelis hakim bakal konsisten menjatuhkan hukuman terhadap Heru Hidayat sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dan fakta persidangan. Karenanya, kata dia, tuntutan pidana hukuman mati Heru Hidayat oleh JPU tidak tepat karena tuntutan tersebut tidak terdapat dalam surat dakwaan.
“Secara aturan, hakim memutuskan perkara berpegang pada surat dakwaan karena itulah yang diperiksa dan dibuktikan dalam persidang-persidangan sebelum putusan. Nah, dalam kasus Asabri ini, JPU tidak menjerat atau mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat hukuman mati dalam surat dakwaan Heru Hidayat,” tandas dia.
Selain itu, lanjut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan kasus Asabri bukanlah pengulangan tindak pidana. Menurut dia, tindakan Heru Hidayat dalam kedua kasus tersebut masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.
“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive berarti dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua atau tempus hampir bersamaan, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan,” pungkas Nur.