Jakarta, Gatra.com – Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah divonis bersalah dan putusannya berkekuatan hukum tetap, tak jarang kembali berusaha untuk menduduki jabatan publik setelah menjalani masa hukumannya. Ini menjadi polemik di tengah masyarakat.
Pengamat kebijakan publik dan Direktur Public Trust Institute (PTI), Hilmi R Ibrahim, dalam keterangan pers yang diterima pada Selasa (11/1), menyampaika, ASN yang telah divonis bersalah hingga menjalani hukuman pidana atau eks narapidana, secara moral tidak pantas mengikuti seleksi apalagi menduduki jabatan publik atau struktural apalagi di posisi strategis, seperti Sekretaris Daerah (Sekda) atau yang lainnya.
Ia menyampaikan pandangan tersebut menyikapi adanya pejabat yang berstatus atau pernah berstatus narapidana mengikuti seleksi terbuka sebagai sekretaris daerah (Sekda) maupun kepala dinas di beberapa provinsi dan kota atau kabupaten, termasuk di salah satu Provinsi di Kalimantan.
Menurutnya, status narapidana meski telah menjalani hukuman pidana sekian bulan, itu akan menghambat karier politiknya sekaligus akan menyulitkannya dalam menjalankan tugas-tugasnya di kemudian hari.
“Jika hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum tetapnya, 4 tahun atau lebih, maka pejabat yang bersangkutan akan dicabut statusnya sebagai pegawai negeri sipil atau PNS maupun Aparatur Sipil Negara atau ASN,” ujarnya.
Namun, lanjut Hilmi, jika hukumannya di bawah 4 tahun, misalnya 3 tahun atau bahkan hanya 3 bulan, pejabat tersebut tidak dipecat dan haknya sebagai PNS maupun ASN pun dikembalikan. “Karena hukuman penjara yang telah dijalaninya itu mengembalikan hak dia sebagai PNS atau ASN,” katanya.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu menjelaskan, seorang pejabat publik harus menceminkan sebagai panutan. Tidak boleh tercela . Dia tidak boleh cacat moralnya. Namun demikian, hukuman yang telah dijalaninya itu tidak boleh membatasi hak dia untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik atau menduduki posisi tertentu. Kalau dia dibatasi atau dilarang mengikuti lelang jabatan tertentu, itu tidak boleh. Pelarangan itu melanggar hak azasi manusia (HAM).
“Setiap pemilihan jabatan struktural apalagi eselon 1 dan 2 itu ada panitia seleksinya atau Pansel. Nah, Panselnya itu harusnya memilih calon yang tidak bermasalah dengan hukum,” ujarnya.
Meski demikia, lanjut Hilmi, Pansel tidak boleh juga melarang calon yang pernah memiliki status narapidana. Hukuman yang pernah dijalani oleh salah seorang calon, hanya untuk catatan Pansel. Agar Pansel memilih yang tidak memiliki cacat hukum atau memilih yang belum pernah mendapatkan hukuman.
“Tetapi tidak boleh menggugurkan dia sebagai calon. Semuanya itu ada di peraturan Menteri Dalam Negeri,” kata Hilmi.
Mantan direktur pengelola Kawasan Gelola Bung Karno ini, lebih jauh menyampaikan, seorang calon pejabat eselon 2 atau 1 yang pernah menjalani hukuman di atas 1 bulan dan di bawah 4 tahun, secara hukum tidak memiliki masalah untuk ikut seleksi atau dipilih menjadi pejabat publik. Namun secara moral dan kepantasan, tidak pantas. Masih banyak calon-calon yang bersih dari catatan catatan hukum.
Atas polemik tersebut, Hilmi berpendapat, jalan keluar jika dalam seleksi pejabat publik setingkat eselon I dan II baik di tingkat pusat maupun daerah, terdapat salah satu calon yang pernah menyandang status narapidana, di antaranya adalah Pansel menggunakan hak subjektivitasnya untuk memillih atau membatalkan calon yang punya masalah hukum.
“Selain itu, biasanya di setiap seleksi pejabat publik membuka keran dan suara serta pendapat masyarakat untuk memberikan masukan atau tanggapan terhadap calon calon yang ikut serta dalan proses seleksi tersebut,” ujarnya.
Menurut Hilmi, masukan dan pendapat masyarakat akan moral dan kelakuan calon peserta lelang jabatan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan salah satu calon.
Menurutnya, dapat dibayangkan jika pejabat yang diloloskan Pansel adalah pejabat yang paling banyak mendapatkan masukan dan penilaian buruk dari masyarakat. Bagaimana pejabat tersebut menjalankan tugas dan pekerjaannya, kalau secara moral dia cacat dan mendapatkan penilaian atau pendapat buruk dari masyarakat.
Kondisi tesebut akan mengganggu pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, sebagai pejabat publik dan memberikan pelayanan publik. “Nara pidana 4 bulan itu perbuatan tercela. Secara moral kasihan pejabatnya. Hanya akan menjadi olok olokan kalau dipilih. Mestinya itu digunakan oleh Pansel untuk tidak memilihnya,” kata dia.
Hilmi mencontohkan, jika ia menjadi Pansel, akan mempetimbangkan catatan hukum pernah dihukum 4 bulan penjara untuk tidak meloloskan kandidat tersebut. Tetapi pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya itu tidak boleh melarang dia ikut serta dalam proses seleksi. Hanya ada sanksi moral.
“Selain itu, untuk keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan kredibel serta transparan, Pansel harus mempertimbangkan, apakah pejabat yang diloloskan, akan memberatkan yang bersangkutan atau tidak jika terpilih. Sebab, pejabat yang bersangkutan akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat juga mengganggu citra pemerintahan secara keseluruhan. Mengingat secara moral bermasalah,” katanya.