Pekanbaru, Gatra.com - Abrasi yang mengikis Pulau Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti, telah memantik perhatian Jakarta. Sejumlah upaya tengah dilakukan untuk membentengi pulau terluar tersebut dari sapuan ombak Selat Malaka, salah satunya dengan mengoptimalkan penanaman mangrove di tepian pulau.
Kepada Gatra.com, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Makmun Murod, menyebut giat tersebut idealnya turut menyertakan perhatian pada kehidupan sosial masyarakat tempatan.
Pasalnya,kata Murod, rusaknya tanaman Mangrove di Pesisir Pulau Rangsang, dilatari oleh pemanfaatan tanaman tersebut untuk mata pencaharian warga.
"Kalau yang dilakukan hanya penanaman kembali, tanpa memikirkan solusi terhadap ekonomi masyarakat tempatan, maka efektifitasnya akan berkurang," ungkapnya melalui sambungan selular, Selasa (11/1).
Asal tahu saja, mangrove atau bakau banyak dimanfaatkan oleh warga, untuk dijadikan arang. Ya, tanaman tersebut merupakan salah bahan baku industri arang, selain bahan lainnya seperti batok kelapa.
Sebagai gambaran, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Direktorat Jenderal Perkebunan, ekspor arang kelapa Indonesia tahun 2019 mencapai 188.050 ton dengan nilai ekspor mencapai 145,09 juta dollar AS. Sayangnya hingga kini belum diketahui berapa total nilai eskpor arang bakau di Indonesia.
Saat ini di Kabupaten Kepulauan Meranti, terdapat lebih dari 55 kilang pemprosesan arang bakau, yang disebut oleh masyarakat setempat dengan istilah panglong. Setiap panglong terdiri dari beberapa tungku, menyerap tenaga kerja 5 hingga 7 orang per unit. Sedangkan 8 hingga 10 orang berperan sebagai pemasok bahan baku.
Adapun luas hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 25.000 hektare. Angka tersebut merupakan statistik yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Riau pada tahun 2013. Dari luasan 25.000 hektare ini, sebanyak 18.300 Hektar diantaranya berstatus sebagai Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Tempat masyarakat menggantungkan hidupnya dengan mengelolah hasil hutan.
"Jadi, cukup banyak masyarakat yang bergantung pada bakau, sehingga perlu dipikirkan solusinya, jika ingin bakau yang ditanam ulang dapat tumbuh dengan baik," terang Murod.
Selain menyinggung pentingnya ranah sosial untuk mengoptimalkan reboisasi mangrove, Murod yang pernah menjabat sebagai Kepala Bapeda Kabupaten Kepulauan Meranti, menuturkan perlunya infrastruktur pendukung untuk melindungi pertumbuhan bakau.
Sebab, jelasnya bakau yang baru ditanam rentan mati oleh sapuan ombak Selat Malaka.
"Sehingga perlu upaya untuk melindungi bakau yang baru ditanam itu, entah dengan pemecah gelombang, tanggul atau infrastruktur lainya. Artinya tidak bisa menangkal abrasi itu hanya dengan menanam bakau semata, tapi juga harus mengupayakan agar dia hidup sampai dewasa sehingga kuat menahan ombak."
Adapun penanaman bakau saat ini digarap oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Tahun 2021 BRGM dikabarkan memberikan bantuan Rp225 miliar untu k giat rehabilitasi mangrove seluas 15 ribu hektar di Riau, ttersebar di 6 kabupaten/kota, yakni di Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Bengkalis, Siak, Indragiri Hilir dan Kota Dumai.