Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menilai dissenting opinion (DO) yang dilakukan Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto dalam kasus Asabri, sudah tepat dari segi aturan atau undang-undang.
Pasalnya, kerugian negara dalam kasus korupsi termasuk kasus Asabri harus kerugian nyata dan pasti, tidak boleh potensial kerugian karena akan menjadi beban bagi terpidana. Menurut Nur, dissenting opinion Hakim Mulyono ini penting karena akan menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya, yakni pengadilan banding dan pengadilan kasasi.
“Kalau argumentasinya (dissenting opinion Hakim Mulyono) seperti itu (perhitungan kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti), dari sisi aturannya itu benar. Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya,” ujar Nur kepada wartawan, Kamis (6/1).
Menurut Nur, Hakim Mulyono memberikan dissenting opinion karena menilai penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tidak konsisten. Karena BPK mendasarkan perhitungan pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur. Namun di lain pihak BPK tetap menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungannya kerugian keuangan negara.
“Artinya di sini, BPK itu menggunakan 2 parameter yang berbeda. Sehingga Anggota Majelis Hakim Mulyono menilai itu belum menunjukkan kerugian negara yang secara nyata ada, tetapi itu hanya menunjukkan potensial loss saja,” ungkap Nur.
Lebih lanjut, Nur mengatakan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi harus nyata untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada terpidana. Pasalnya, terpidana-lah yang nantinya harus menanggung beban kerugian keuangan negara tersebut untuk dikembalikan dalam bentuk ganti rugi.
“Kerugian keuangan negara tidak boleh potensial loss, karena itu nantinya akan menjadi beban bagi terpidana untuk mengembalikan ganti kerugian kepada negara. Jadi, harus nyata dan pasti jangan sampai kerugian negara yang nyata hanya Rp 5 miliar, lalu jadi Rp 5 triliun, mampus terpidananya mengembalikan, padahal bukan sebesar itu yang dia nikmati,” tandas Nur.
Ia menambahkan dissenting opinion Hakim Mulyono, menurut Nur, tidak menjadi masalah karena itu menjadi catatan yang harus dilampirkan pada putusan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Menurutnya dissenting opinion tersebut menjadi catatan untuk pengadilan tingkat atasnya baik pengadilan banding maupun pengadilan kasasi.
“Soal benar tidaknya pendapat Hakim Mulyono, saya tidak boleh memberikan komentar karena ini juga belum inkrah, tetapi kalau argumentasinya seperi itu, dari sisi aturannya itu benar,” pungkas Nur.