Yogyakarta, Gatra.com - Pengajar sosiologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menjelaskan melihat fenomena klithih tidak bisa lepas dari konteks sejarah Yogyakarta, termasuk afiliasinya ke geng SMA dan politik. Aksi ini diprediksi bakal terus ada, bahkan hingga tahun politik 2024, jika warga tak berperan serius.
“Secara histori pasti terkait (geng), artinya bisa jadi klithih itu muncul lagi. Ini bisa dimaknai sebagai bagian dari kenakalan remaja dan jangan heran di masa depan pasti akan muncul kembali," ujar Wahyu dalam keterangan tertulis, Selasa (4/1).
Wahyu menyebut klithih itu label tindakan dan istilah itu menjadi khas karena terjadi di Yogyakarta, walaupun aksi itu secara teori sebagai bagian dari kenakalan remaja. Untuk memberantasnya, kata dia, butuh upaya lebih, tak lagi sekadar menangkap pelaku. Namun karena kenakalan remaja, beberapa aspek harus dipertimbangkan.
“Pelaku tertangkap bisa jadi belum ada penyesalan. Sebab jika ini kenakalan remaja maka ini menyangkut soal exercise power. Jika ini dianggap sebagai kenakalan remaja, maka salah satu tujuannya adalah untuk recognisi. Anak muda itu kan khas dengan pencarian jati diri," ucapnya.
Ia menjelaskan, salah satu sebab munculnya klithih adalah semakin terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi. Jika dahulu ruang publik di Yogyakarta begitu luas, kini berkurang cukup banyak. Persoalan pandemi pun berperan, yakni saat orang harus berjarak dan akhirnya memaksa beralih dengan teknologi untuk berinteraksi.
“(Remaja) Membentuk dunianya yang semakin terasing dari masyarakatnya karena mereka sudah asyik dengan komunitasnya yang bisa terhubung secara virtual. Artinya, peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih," katanya.
Di tengah krisis ekonomi, Wahyu tidak menampik bahwa fenomena klithih juga terkait tindakan kriminal, seperti perampokan atau pembacokan yang berujung perampasan materi.
“Kalau kriminal jelas ditangkap, kemudian dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Kalau seperti ini, jauh lebih mudah dalam penanganannya karena cukup dengan memperbanyak CCTV, ciptakan efek panopticon, seperti di dalam penjara orang tidak bisa bertindak macam-macam karena adanya banyak kamera untuk mengawasi," paparnya.
Namun, Wahyu melihat, aksi klithih bukan sekadar tindakan anak muda dalam sebuah geng, melainkan juga sebagai fenomena yang berafiliasi politik. Klithih tidak lepas dari sejarah panjang di Yogyakarta dengan dinamika anak muda dan geng-geng yang eksis sampai sekarang dan kemungkinan semerbak kembali pada 2024.
Selain itu, tindakan mereka melukai orang lain sebagai wujud eksistensi. Hal ini lebih sulit diatasi karena mereka tidak merampas atau berkoordinasi dan membangun gerakan tanpa harus bertemu, tapi cukup lewat media sosial.
“Yang kriminal jejaring ideologinya tidak sekuat geng-geng yang tanpa merampas. Beberapa kali peristiwa penyabetan hanya dilakukan satu orang pelaku. Dengan motor baru dari orang tuanya yang mendapat warisan, terus bergabung dengan geng, seperti itu kan persoalan eksistensi," ungkapnya.
Wahyu menyayangkan jika ada anak nakal di sebuah lingkungan, anak itu bukannya dirangkul tetapi justru dilabeli sebagai anak nakal. Akibatnya, mereka merasa terasing dari komunitas dan membangun komunitas sendiri untuk eksis. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat harus berperan lebih. Misalnya melalui komunitas anak muda karang taruna atau komunitas ibu-ibu PKK.
“Lakukan gerakan merangkul bersama secara lebih masif. Ibu PKK membahas pengasuhan anak zaman sekarang sebagai upaya mengurangi risiko anak muda melakukan tindakan negatif. Karang Taruna melalui kegiatan positif dan produktif yang bisa mengakomodir anak muda. Demikian juga bapak-bapak membahas isu pengasuhan," urainya.
Menurutnya, tantangan ke depan adalah menciptakan komunalitas di masyarakat dengan berbagai aktivitas agar partisipasi dalam menjaga sesama warga meningkat. Poskamling di masa pandemi yang mulai berkurang dapat diaktifkan kembali agar anak muda yang suka nongkrong dapat ikut beraktivitas menjaga keamanan lingkungan.
Dengan begitu, anak muda lebih berkontribusi positif ke masyarakat. Sementara para sesepuh masyarakat bisa menyampaikan program-program bagus terkait pembangunan lingkungan atau desa secara informal.
“Banyak cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat komunalitas, dan dalam komunalitas yang berupa kehidupan bersama itu, kan sebenarnya nyawanya orang Jawa ada di situ," kata Wahyu.