Jakarta, Gatra.com – Kinerja DPR dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pokoknya mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan menjelang akhir tahun 2021, termasuk dari para peneliti hingga buruh perempuan.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, misalnya. Ia bahkan menyebut bahwa DPR tak berdaya, tumpul, dan tak punya sikap kritis terhadap berbagai kebijakan yang diusulkan pemerintah.
“Ketika DPR cenderung menjadi sekadar ‘stempel’ pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan,” kata Lucius dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, (29/11/2021).
Formappi mencatat bahwa kemunculan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengonfirmasi kelemahan DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas. Walaupun UU Cipta Kerja merupakan hasil kerja DPR tahun 2020 lalu, kata Lucius, tetapi kemunculan putusan MK pada tahun 2021 ini menjadi catatan penting untuk menilai kualitas kinerja legislasi DPR.
Senada dengan Formappi, buruh perempuan yang tergabung dalam serikat Federasi Perjuangan Buruh indonesaia (FPBI) juga menyoroti wakil rakyatnya ketika mereka mengklaim sedang berada di titik nadir karena merasa dihimpit oleh berlakunya UU Cipta Kerja. Hal ini terbilang masuk akal mengingat ketua DPR Ri saat ini adalah seorang perempuan, Puan Maharani.
Koordinator Buruh Perempuan FPBI, Khotiah, menyuarakan jeritan-jeritan kaum buruh itu. Dalam konteks ini, ia menyebut bahwa buruh perempuan lebih banyak dihantui kerentanan ketimbang buruh pria, mulai dari sulitnya mendapatkan cuti haid dan upah yang tak layak.
Dalam konteks upah tak layak, kata Khotiah, banyak buruh perempuan yang makin terhimpit kondisi ekonominya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka juga bereperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) di keluarga mereka.
Tak hanya itu, selama pandemi Covid-19, Khotiah mencatat bahwa banyak buruh perempuan yang mengalami pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
“Mereka dirumahkan tanpa kejelasan. Upahnya nggak dibayar. Tiba-tiba mereka di-PHK, secara sepihak. Tiba-tiba pengusahanya kabur. Di mana pemerintah hari ini? Tidak ada. Tidak ada tanggung jawabnya pemerintahan ini,” keluh Khotiah saat ditemui Gatra.com di aksi massa di Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (11/12/2021), lalu.
Menggantungkan asa ke pemerintah menjadi semacam mustahil. Pihak buruh pun mencoba menaruh kepercayaan kepada DPR sebagai perwakilan mereka. Akan tetapi, kata Khotiah, DPR juga tak peka terhadap situasi buruh perempuan walau Ketua DPR saat ini, Puan Maharani, juga merupakan seorang perempuan.
Untuk itu, Khotiah berharap kepada pihak pemerintah untuk segera menaikkan upah buruh. “Saya minta ke pihak Presiden Jokowi. Segeralah upah buruh itu jangan sampai tidak naik. Kalau tidak naik, bagaimana nasibnya yang punya anak? Sedangkan upah hari ini yang berlaku adalah upah lajang, bukan upah keluarga,” tandas Khotiah.