Bandar Lampung, Gatra.com - Sembilan orang ahlul halli wal aqdi (AHWA) menetapkan KH Miftachul Akhyar menjadi Rais Aam PBNU periode 2021-2026 pada sidang Muktamar ke-34 di Bandar Lampung, Kamis malam (24/12) malam. Penetapan KH Miftakhul dilakukan secara musyawarah oleh tim AHWA yang dipimpin KH Ma'ruf Amin.
Kabarnya, menjelang Muktamar NU ke-34 di Lampung, Miftachul pernah bersiteru dengan Ketua Umum PBNU soal penentuan jadwal Muktamar NU ke-34. Saat itu Miftachul mengeluarkan surat perintah percepatan muktamar menjadi 17 Desember 2021. Namun perintah itu dimentahkan Ketua Umum PBNU Said Aqil. Kata Said, jadwal Muktamar ke-34 NU belum ditentukan.
Menurut Miftachul, pilihan untuk mempercepat muktamar semata-mata mempertimbangkan keselamatan PBNU dan semua pengurusnya. Dia merasa muktamar tahun ini tidak dapat diundur lagi karena berdasarkan hasil Konferensi Besar (Konbes) NU beberapa waktu lalu telah menetapkan muktamar di bulan Desember 2021.
Miftachul mengungkapkan, rapat menentukan jadwal muktamar dilaksanakan pada Rabu (24/11) hingga Kamis (25/11). Namun saat KH Miftahul datang, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan Sekjen Helmy Faishal serta panitia muktamar tidak mau hadir.
Siapakah KH Miftachul Akhyar? Sebelum terpilih menjadi Rais Aam PBNU 2021-2026, ia menjabat sebagai Rais Aam PBNU selepas KH Ma'ruf Amin maju dalam Pemilu Presiden 2019.
Pada Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 yang digelar pada 25-27 November 2020, pengasuh Ponpes Miftachus Sunnah Kota Surabaya ini ditetapkan sebagai ketua umum menggantikan KH Ma'ruf Amin. Ia akan mengemban tugas di MUI hingga 2025.
Di kalangan Nahdliyin, nama lelaki kelahiran 30 Juni 1953 ini tidak asing lagi. Ia memang besar di lingkungan Nahdliyin. Ayahnya, KH Abdul Ghoni, merupakan pendiri Pesantren Tahsinul Akhlak, Rangkah, Surabaya, Jawa Timur.
Putra ke-13 dari 19 bersaudara ini, lama mengenyam pendidikan di pesantren. Miftachul pernah menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren Sidogiri Pasuruan, dan Pesantren Lasem, Jawa Tengah.
Miftachul juga tercatat pernah mengikuti Majelis Ta'lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al-Maliki di Malang, ketika ulama kharismatik asal Mekkah, Arab Saudi tersebut masih mengajar di Indonesia.
Pada 1982, Miftachul mendirikan Pesantren Miftachus Sunnah di kawasan Tambaari, Surabaya. Pesantren yang didirikan itu berawal dari pengajian yang rutin digelar di rumahnya untuk masyarakat sekitar. Namun lambat laun rupanya banyak santri yang berdatangan. Tak hanya dari Surabaya tapi juga daerah luar Surabaya. Karena makin banyak santri yang datang, ia kemudian mendirikan pesantren di kediaman peninggalan kakeknya.
Miftachul rupanya punya alasan khusus mendirikan pesantren di kampung kakeknya di Kedung Tarukan itu. Kawasan itu sebelumnya dikenal sebagai kawasan yang tidak ramah dengan dakwah ulama. Karena itu ia ingin mengubah citra itu.
Karier Miftachul di kalangan NU terbilang cukup panjang. Di NU ia tercatat pernah menduduki posisi Rais Syuriyah PCNU Surabaya (2000-2005), Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur (2007-2013 dan 2013-2018), dan Wakil Rais Aam PBNU (2015-2020). Namun posisi Wakil Rais Aam di PBNU hanya dijalani hingga 2018 karena dia ditunjuk menjadi Rais Aam PBNU, menggantikan Maruf Amin yang saat itu mundur setelah resmi menjadi kontestan Pilpres 2019.
Di luar menjadi aktivias NU, Miftachul juga pernah berdagang batik. Saat masih muda, ia berjualan kain batik dengan berkeliling ke banyak daerah, mulai dari Surabaya, Lasem, Pekalongan, hingga Banyuwangi.
Tapi Miftachul berdagang batik tak sampai mencapai skala besar. "Hanya jualan batik dengan bungkelan (buntalan dari kain lebar yang digunakan untuk membawa baju dan kain batik jualannya)," katanya.
Aktivitas berdagang batik dilakoninya pada 1977 hingga empat tahun kemudian. Berdagang menjadi pilihan Miftachul mencari nafkah karena setelah menikah di usia muda, perekonomian keluarganya belum mapan. "Kebetulan suami kakak istri saya adalah saudagar batik dari Pekalongan," kata Miftachul.