Depok, Gatra.com – Kuasa Hukum Ida Farida (62 Tahun), Bernard Paulus Simanjuntak menduga ada oknum dari pegawai ATR/BPN yang terlibat dalam penerbitan kembali sertifikat di lahan yang saat ini menjadi sengketa antara pihaknya dengan PT Pakuan Sawangan Golf (PSG), di Sawangan Depok, Jawa Barat.
"Kami melayangkan gugatan terhadap BPN Depok karena kami menemukan banyak kejanggalan dari kasus tersebut," katanya, di gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat, Kamis (23/12).
Kasus sengketa antara Ida Farida dengan PSG sudah berlangsung sejak tahun 2012 lalu. Kasus ini pun bergulir hingga ke tingkat Peninjauan Kembali dengan putusan status cacat formil alias Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Belakangan lanjut Bernard, tahun 2021 ini pihak BPN Depok menerbitkan sertifikat terhadap PSG, padahal lahan tersebut masih dalam “status sengketa” dan sebelumnya sudah terbit pembatalan sertifikat di lahan yang sama.
“Lahan yang tengah menjalani proses hukum sengketa itu tiba-tiba dikeluarkan lagi melalui sebuah surat dari kantor BPN Depok. Ini sangat aneh," kata Bernard.
Atas keputusan BPN Depok itu, Bernard pun melayangkan gugatan ke PTUN Bandung. Isinya menggugat keputuan BPN Depok yang memberikan penguasaan lahan kembali terhadap PSG, seluas sekitar 50 hektar.
“Kami menggugat BPN Depok karena sertifikat yang dikeluarkan cacat secara administrasi. Kami mencurigai ada permainan atau dugaan mafia tanah dalam kasus ini,” kata Bernard.
Sebelumnya, Benard menceritakan bahwa kasus sengketa ini bermula saat Ida mencoba mengelola lahan yang ada di daerah Sawangan, Depok. Berbekal Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (Sk-Kinag), Ida mendaftarkan ke BPN dan mendapat penetapan Pengadilan Negeri.
"Dari itu, Ibu Ida melakukan pembebasan sekaligus memberi kompensasi bagi penggarap, hingga akhirnya terbit SHM," ujarnya.
Setelah SHM diproleh, mulai muncul permasalahan, karena pada lahan itu juga muncul sertifikat yang sama alias tumpang tindih atas nama PT PSG, yang dipecah menjadi sembilan.
Karena hal itu, sertifikat keduanya pun akhirnya dibatalkan melalui SK Kanwil BPN di tahun 2017 lalu.
"Sejak saat itu, terjadilah sengketa kepemilikan lahan yang luasnya sekitar 90 hektar," ungkapnya.
Di tahun yang sama itu, sertifikat dibatalkan. Namun beberapa tahun kemudian, terbit lagi sertifikat yang dikeluarkan BPN Depok di lahan sengketa yang kepemilikannya masih berstatus NO tadi.
"Padahal mengacu pada peraturan menteri negera agrari/ kepala BPN No. 3 tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pnerian hak atas tanah negara yang menyatakan, kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya memberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000 meter persegi. Dan ini di lahan seluas 90 hektar, surat itu bisa diterbitkan dari kabupaten atau kotamadya," katanya.
Atas kasus tersebut, Benard berharap dugaan keterlibatan mafia tanah yang ada, bisa segera dibersihkan.
Belum ada penjelasan secara resmi atas kasus tersebut, namun Kepala Urusan Umum BPN Depok, Yudhi Sugandi menyebut kasus ini masih dalam proses perkara di PTUN Bandung.
"Kasusnya sedang disidangkan di PTUN," ujarnya kepada awak media.