Jakarta, Gatra.com– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) turut memuat ketentuan ihwal kohabitasi. Istilah itu merujuk pada tindakan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan atau biasa dikenal ‘kumpul kebo’.
Pasal 418 ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang melakukan kohabitasi dipidana dengan pidana penjara maksimal enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Tindak pidana ini tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya (Pasal 418 ayat 2).
Polemik makin ramai lantaran kepala desa juga dapat mengadukan pelaku kohabitasi. Pasal 418 ayat (3), pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bisa juga diajukan oleh kepala desa atau sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anaknya.
Terbaru, Pasal 418 ayat (3) telah dihapuskan dari RKUHP. Hal tersebut disampaikan anggota tim ahli RKUHP, Yenti Garnasih, dalam diskusi daring pada Rabu (22/12). Dia mengatakan, penghapusan itu dilakukan beberapa pekan yang lalu.
“Ketentuan mengenai kepala desa yang dapat mengajukan aduan [kohabitasi] sudah dihapus. Sehingga, pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami/istri (bagi yang terikat perkawinan) atau orang tua/anaknya (bagi yang tak terikat perkawinan),” jelasnya.
Namun, Yenti tak merinci lebih lanjut alasan penghapusan ketentuan tersebut. Yenti menambahkan, pembaruan RKUHP memiliki sejumlah misi sasaran yaitu rekodifikasi terbuka dan terbatas, demokratisasi, harmonisasi dan sinkronisasi, aktualisasi, serta modernisasi.
Menurut Yenti, pembahasan RKUHP telah dilakukan kurang lebih selama 59 tahun. Pada 2012, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP pertama kali disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selang tiga tahun, Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali ke DPR dan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015, yang ditindaklanjuti dengan pembahasan secara intensif selama lebih dari empat tahun.
Pada 18 September 2019, pemerintah dan DPR sudah menyepakati RUU KUHP saat Pembahasan Tingkat I untuk dibahas dalam Pembahasan Tingkat II alias pengambilan keputusan di Rapat Paripurna.
Tetapi, pada 26 September 2019, pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU KUHP dalam Pembahasan Tingkat II. Keputusan ini tidak terlepas dari polemik masyarakat yang terus memprotes pasal-pasal yang dianggap kontroversial.