Jakarta, Gatra.com – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Sakti Trenggono, mengindikasikan bahwa ke depan, ia beserta jajarannya akan lebih memprioritaskan ekologi ketimbang ekonomi dalam mengelola sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia.
“Ekologi harus diucapkan pertama. Baru kemudian ekonomi,” tegas Trenggono dalam agenda Bincang Bahari yang digelar di Gedung Mina Bahari III Kantor KKP, Jakarta, pada Rabu (22/12).
Trenggono menyebut bahwa langkah tersebut juga merupakan salah satu program Presiden Jokowi yang hendak melangkah menuju ekonomi hijau (green economy). Dalam konteks kelautan, istilah tersebut sedikit bergeser menjadi ekonomi biru (blue economy).
Salah satu implementasi dari ekonomi biru, terang Trenggono, adalah bagaimana negara menjaga ekologi laut agar tetap bisa sehat dan memberikan kehidupan pada umat manusia di generasi yang akan datang.
Salah satu penerapannya, kata Trenggono, adalah penangkapan ikan terukur dengan skema output control yang akan KKP mulai pada tahun 2022 mendatang. Dengan skema ini, setiap kapal penangkap ikan wajib terdaftar dan melaporkan seluruh hasil tangkapannya ke pelabuhan perikanan di setiap zona penangkapan ikan berbasis kuota yang telah ditentukan.
Untuk penangkapan ikan terukur pada tahun 2022 mendatang, KKP membagi wilayah penangkapan ke dalam empat zona. Zona pertama adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara dengan total kuota 473.000 ton ikan per tahun.
Zona kedua adalah WPPNRI 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera dan WPPNRI 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan laut lepas Samudera Pasifik dengan kuota 738.000 ton per tahun.
Zone ketiga adalah WPPNRI 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau serta WPPNRI 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur dengan kuota 2.266.000 ton per tahun.
Terakhir, zona keempat adalah WPPNRI 572 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda serta WPPNRI 573 yang meliputi Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dan juga laut lepas Samudera Pasifik dengan kuota 1.415.000 ton per tahun.
Dari sinilah KKP akan mengambil Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kapal komersial maupun nelayan lokal yang menangkap ikan tersebut. Kapal komersial dan nelayan akan dikenakan PNBP sesuai dengan jumlah ikan yang mereka tangkap.
Untuk tahun 2022 mendatang, KKP sendiri menargetkan PNBP lebih dari Rp1 triliun. Nilai penerimaan itu ditetapkan setelah bercermin pada pencapaian PNBP KKP pada tahun ini yang diklaim sebagai capaian PNBP KKP tertinggi sepanjang sejarah, yakni hampir Rp1 triliun, atau persisinya Rp920 miliar per hari kemarin, dengan kemungkinan bertambah sebelum berganti tahun.
Soal pengawasan, apabila terdapat kapal komersial atau nelayan lokal yang menangkap jumlah ikan lebih dari kuota yang telah ditetapkan, maka, kata Trenggono, itu sudah tergolong sebagai pelanggaran aturan.
“Itu akan terjadi overfishing dan dampaknya ekologi akan rusak. Kalau ekologi rusak, itu akan berpengaruh pada seluruh kehidupan yang ada di laut,” kata Trenggono.
“Kalau ekonomi duluan, ekologi hancur, cepat sekali ekonomi itu rusak. Tapi kalau ekologi yang dijaga dengan baik, ekonominya belakangan, nanti ekonomi itu akan meningkat,” imbuh Trenggono.
Dengan penangkapan ikan dalam jumlah besar sekaligus, kata Trenggono, memang ekonomi akan naik tajam secara luar biasa dalam waktu sekejap. Akan tetapi, untuk jangka waktu yang panjang, katanya, itu akan menjadi buruk bagi kesehatan ekologi laut.
Akan beda ceritanya kalau kuota penangkapan ikan dibatasi, kata Trenggono. “Ini ada 5 juta [ton], tetapi kamu hanya boleh ambil 3 juta. 3 juta ini akan meningkat harganya karena demand-nya semakin tinggi, tapi source-nya akan berkurang. Nah, itu akan terjaga dengan baik,” terangnya.
Penangkapan ikan terukur dari sisi kuota tersebut sudah jelas batasannya. Kuota tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu kuota komersial (investor), kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial.
Untuk kuota komersial, cakupan wilayahnya adalah seluas 12 mil laut dengan perizinan berusaha. Kapal-kapal komersial bisa menangkap ikan di atas 12 mil laut dengan sistem kontrak dan perizinan berusaha.
Sementara untuk nelayan lokal, cakupan wilayah penangkapannya adalah sampai dengan 12 mil laut dengan perizinan berusaha dan di atas 12 mil laut dengan perizinan berusaha.
Untuk yang ketiga, wilayah penangkapan ikan ini hanya dialokasikan untuk tujuan pendidikan dan atau pelatihan perikanan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, dan atau kesenangan wisata.
Total stok ikan ditentukan berdasarkan kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) dan Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) dan disahkan oleh Keputusan Menteri KP.
Untuk menegaskan langkah pengawasannya, Trenggono menyebut bahwa KKP akan mengerahkan teknologi satelit yang terkoneksi langsung kepada kapal pengawas di setiap zona yang sekaligus juga terkoneksi dengan teknologi air surveillance KKP.
“Ada syarat dari investor yang mau masuk di zona itu mau ngambil berapa. Sebut saja mau ngambil 80%. Boleh. Dia harus bayar PNBP sebesar itu di depan. Lalu diawasi karena dia harus mendaftarkan kapalnya berapa jumlahnya. Dia harus dimonitor. Jumlah ikannya yang ditangkap itu berapa ketika mendarat. Kalau dia melebihi dari kuota yang ada, dia against terhadap ekologi. Dia akan didenda. Entah dendanya dua kali lipat atau apa. Itu masih digodok oleh Dirjen terkait,” terang Trenggono.
“Jadi artinya, apabila terjadi penyelewengan jumlah ikan yang ditangkap, kita bisa lakukan tindakan-tindakan punishment,” kata Trenggono.