Jakarta, Gatra.com – Koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah agar memprioritaskan vaksinasi dosis lengkap hingga mencakup 70–80% populasi secara nasional. Sejauh ini, cakupan vaksinasi dosis 2 di Indonesia baru sekitar 50,68% per 16 Desember 2021, seiring vaksinasi anak (6-11 tahun) yang baru bergulir.
Pernyataan bersama tersebut disampaikan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Lapor Covid-19, serta Transparency International Indonesia (TII).
Pendiri CISDI, Diah Saminarsih, menjelaskan bahwa koalisi juga meminta pemerintah tidak menggulirkan program booster vaksin Covid-19 (dosis ketiga) berbayar. Pasalnya, langkah itu justru akan memperlebar jurang ketimpangan akses vaksin karena suplai yang belum memadai.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berencana melaksanakan program booster untuk lansia penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (PBI-JK) lewat skema dibiayai negara per Januari 2022. Sementara, booster bagi masyarakat umum akan disediakan melalui mekanisme berbayar pada periode yang sama.
“Koalisi tidak menolak booster, tetapi kami menginginkan adanya keberadilan dalam pemberian akses vaksin untuk semua. Yang perlu dipentingkan adalah dosis lengkap yang harus ada untuk seluruh masyarakat, baru kemudian bicara ihwal booster,” ungkap Diah, yang juga penasihat senior Dirjen WHO tersebut.
Diah khawatir, kebijakan booster yang terlalu cepat atau waktunya tidak tepat malah mengakibatkan ketimpangan akses vaksin semakin lebar. Sebab, ada sekitar 50% dari populasi Indonesia yang belum mendapatkan vaksin dosis lengkap. Sehingga, prioritas vaksin harus diberikan kepada mereka terlebih dahulu.
“Adanya varian Omicron atau mutasi virus, salah satu penyebabnya adalah ketimpangan akses vaksin. Hal ini yang memungkinkan virus terus bermutasi. Sebagai contoh, varian Omicron pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan berasal dari seseorang yang positif HIV atau immunocompromised,” imbuhnya.
Kemudian, mutasi makin terus berjalan dengan tidak terkendali dan akhirnya muncul varian Omicron. Terlebih, cakupan vaksinasi di negara-negara Afrika baru sekitar 8% dari seluruh populasinya. Sedangkan, banyak negara lain cakupan vaksinasinya sudah mencapai 70% hingga 90%.
“Dari sisi global, yang harus dikerjakan adalah memberi vaksin kepada negara-negara yang sedikit cakupan vaksinasinya. Selain itu, setiap negara harus memastikan agar semua orang memperoleh dosis lengkap. Khusus untuk lansia dan orang dengan immunocompromised, perlu mendapatkan tiga dosis sesuai rekomendasi scientific advisory group on epidemiology alias SAGE,” jelasnya.
Menurut Diah, pemberian dosis ketiga atau booster harus dilandasi bukti ilmiah terkait penurunan kekebalan dan perlindungan klinis, berkurangnya efektivitas vaksin, serta ditargetkan untuk kelompok populasi yang paling membutuhkan, yakni lansia di atas 65 tahun dan pasien dengan gangguan imunitas.
Diah mengatakan, kebijakan booster berbayar berisiko memperburuk ketimpangan vaksinasi dan mengalihkan pasokan dari pemerataan dua dosis primer. Hal ini mengingat keterbatasan stok vaksin dan kapasitas pengiriman vaksin di Indonesia.
"Tanpa kecepatan, ketepatan, dan keluasan cakupan dosis pertama dan kedua (vaksin primer), prospek mitigasi pandemi dapat meleset dan berimplikasi buruk bagi kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial, dan ekonomi," terangnya.
Karena itu, koalisi mendesak pemerintah untuk memperjelas rencana pencapaian 70-80% cakupan vaksin dosis lengkap dan mempercepat jangkauan vaksinasi pada masyarakat rentan. Di samping itu, juga menyiapkan tata kelola guna menyediakan dosis ketiga secara gratis bagi seluruh masyarakat.
'Lapor Covid-19' masih menemukan kesulitan warga mengakses vaksin. Sepanjang Agustus sampai 13 Desember 2021, tercatat sedikitnya 308 laporan yang menginformasikan terkait kendala warga pada program vaksinasi nasional.
Laporan tersebut menjelaskan kesulitan warga mendaftar dan minimnya informasi tentang ketersediaan vaksin. Sehingga, mereka mesti melakukan pencarian secara mandiri. Laporan ini juga mengindikasikan buruknya tata kelola pelaksanaan vaksin di lapangan, termasuk dalam proses administrasi pendataan dan pendaftaran program vaksinasi.
Peneliti TII, Agus Sarwono, menyatakan koalisi mendesak transparansi kebijakan vaksinasi nasional. Hal itu mencakup data hingga proses pengadaan, distribusi vaksin ke pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, serta penyaluran ke individu atau kelompok penerima.
"Hingga kini, publik masih kesulitan mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, dan jenis vaksin. Minimnya transparansi pendistribusian vaksin menyebabkan warga kesulitan untuk mendapat informasi secara real-time ihwal jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya dan di mana saja vaksin telah didistribusikan," jelasnya.
Akibatnya, warga tidak tahu kapan vaksin akan datang dan diterima. Ketersediaan informasi vaksin diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah. Upaya ini perlu dilakukan guna memastikan agar tak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin dosis kedua.
"Oleh sebab itu, perbaikan sistem pendataan seharusnya menjadi agenda prioritas pemerintah sebelum vaksinasi dosis ketiga diberlakukan, sehingga warga dapat mendapatkan akses vaksin dengan mudah," ujarnya.