Jakarta, Gatra.com - Penanggulangan bencana perlu didekati dengan berperspektif ilmu pengetahuan. Hal ini terungkap dalam Webinar bertema ‘Penanggulangan Bencana di Negara Ring of Fire’ yang diselenggarakan forum "Musyawarah Indonesia".
“Ketika menyusun program intervensi terkait pengurangan bencana, kita harus tahu persis apa karakteristik bencana. Penanggulangan bencana perlu pendekatan pengetahuan, dari teori yang benar yaitu mulai perencanaan sampai dengan dilakukan evaluasi sebuah penanggulangan bencana,” kata Wignyo Adiyoso, PhD Pakar Manajemen Bencana, Bappenas, RI ketika menjadi narasumber dalam serial webinar ke-12 Musyawarah Indonesia, Kamis malam (16/12).
Musyawarah Indonesia merupakan Forum yang mengkampanyekan musyawarah atau dialog sebagai cara terbaik mencari solusi dalam kehidupan bangsa yang demokratis, karena dialog adalah oksigen demokrasi. Pada webinar Kamis malam yang berlangsung selama 2 jam 30 menit hingga pukul 10 malam WIB itu hadir Koordinator Musyawarah Indonesia Abdul Rahman Ma’mun; Bupati Sleman, DI Yogyakarta, Kustini Sri Purnomo; Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (BPBD NTB), Sahdan; pakar Manajemen Bencana, Bappenas RI Wignyo Adiyoso, PhD dan Akbar Apriawan, Direktur Indonesia Resilience.
Dalam webinar tersebut, Bupati Sleman, Kustini membahas pengalamannya bersama masyarakat menanggulangi erupsi Gunung Merapi yang sering terjadi. “Di Kabupaten Sleman itu tidak hanya ancama erupsi Merapi, tapi memang kawasan rawan bencana dengan 7 Jenis ancaman bencana alam, sehingga perlu kerjasama banyak pihak termasuk masyarakat dan pemerintah pusat, baik BNPB maupun pusat kegunungapian,” katanya.
Kepala Pelaksana BPBD NTB H. Sahdan, menanggapi hal itu dengan membahas “Manajemen Penanggulangan di Provinsi NTB sebagai Daerah Ring Of Fire Melalui Pendekatan Sosial”. Sahdan menjelaskan tentang keterlibatan warga masyarakat secara langsung melalui program Destana (desa tangguh bencana). “Penanggulangan dan mitigasi bencana di desa-desa yang sudah punya Destana sangat efektif, baik untuk sosialisasi maupun menjaga kemungkinan bencana terjadi. Masyarakat lebih percaya warga desanya sendiri daripada orang luar yang datang dan menjelaskan ini-itu tentang bencana,” ujarnya.
Menurut Wignyo Adiyoso, Indonesia merupakan negara yang berada dalam Cincin Api Pasifik atau biasa disebut kawasan Ring of Fire. Dalam Lingkaran Api Pasifik ini setidaknya ada 450 rangkaian gunung berapi aktif dan tidak aktif yang berbentuk lingkaran tidak sempurna yang membentang di sekitar Lempeng Laut Filipina, Lempeng Pasifik, Juan de Fuca dan Lempeng Cocos, serta Lempeng Nazca.
“Banyaknya aktivitas seismik di wilayah ring of fire menjadi konsekuensi kerentanan terhadap negara yang ada diatasnya karena memiliki ancaman gempa bumi, tsunami, serta dampak lanjutan dari bencana yang terjadi,” kata Wignyo.
Gunung Semeru di Jawa Timur meletus pada Sabtu 4 Desember 2021 lalu. Data per 9 Desember 2021 yang didapat dari Pos Komando Tanggap Darurat Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru yang dikelola BNPB tercatat 39 orang meninggal dunia dan 13 orang hilang.
Menurut PNBP di Indonesia dalam pemetaan risiko hampir 78% kota/kabupaten berisiko tinggi dengan bencana banjir dan longsor. Tidak hanya itu, dikarenakan keberagaman suku, ras, agama dan kelompok menyebabkan potensi konflik horizontal, serta pendekatan perspektif keamanan menyebab konflik vertikal yang merupakan ancaman sekaligus kerentanan Indonesia terhadap bencana sosial
Tak pelak lagi, Indonesia ibarat "Negara Api" yang harus terus memitigasi bencana alamnya. Hari Akbar Apriawan, Direktur Indonesia Resilience yang membahas “Resilience bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis aktivisme pemberdayaan masyarakat” menjelaskan tentang bagaimana penanggulangan bencana di Indonesia. "Untuk itulah kita perlu mengetahui aspek strategi (kultural, sosiologis dan kebijakan) dalam membangun mitigasi bencana serta memahami bagaimana pentingnya peran masyarakat dalam penanggulangan bencana," katanya.