Jakarta, Gatra.com – KH. Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah satu ulama dan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) bersama KH M. Hasyim Asy'ari dan KH Bisri Syansuri. Organsasi yang dibidani Abdul Wahab Chasbullah dan kawan-kawan tersebut turut berandil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menyatukan rakyat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) pun pada 7 November 2014 menetapkan Abdul Wahab Hasbullah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Lantas, bagaimana pemikiran dan kiprah KH Abdul Wahab Hasbullah? Safrizal Rambe menuangkannya dalam buku “Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU : Sang Penggerak Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah”.
Putra almarhum KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. M. Hasib Wahab, dalam bedah buku “Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU : Sang Penggerak Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah” yang dihelat secara hybrid di Jakarta, Kamis (16/12), menyampaikan, warga NU atau Nahdlyin, khususnya kader muda NU wajib membaca buku tersebut.
“Wajib baca ini karena di sinilah tersirat dari sisi perjuangan beliau dan sebagainya, pemikiran-pemikiran beliau serta sepak terjang dari beliau daripada apa yang dihadapi dan bagaimana solusinya, di antaranya ada dalam buku ini,” kata Hasib.
Buku “Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU : Sang Penggerak Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah” setebal 403 halaman ini menyampaikan pemikiran dan sepak terjang KH Abdul Wahab Chasbullah dari Muktamar NU pertama hingga tahun 1970-an.
Hasib menilai penerbitan buku tersebut sangat tepat. Pasalnya, bertepatan dengan momentum Muktamar NU ke-34 yang bakal dihelat di Lampung. Terlebih lagi, buku ini merangkum Muktamar NU pertama hingga ke-25 pada tahun 1971.
Melalui paparan tersebut, dapat diketahui bagaimana peran Nahdliyyin dari muktamar ke muktamar. Dewan Penasihat Kiai Wahab Foundation (KWF) ini menilai bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan ulama yang mempunyai gagasan dan pemikiran visioner.
Hasib mengungkapkan, KH Abdul Wahab Chasbullah mempunyai peran dalam melawan penjajah Belanda. Almarhum menyatukan petani untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.
Pemikiran visioner almarhum di antaranya soal gagasan untuk mendirikan bank NU dan kemandirian ekonomi NU yang disampaikannya pada Muktamar NU di Menes, Jawa Barat, tahun 1938. Ini mendorong kiprah NU di bidang ekonomi.
Kemudian, almarhum memantik gerakan untuk mendirikan pondok pesantren terbesar di berbagai pelosok di Tanah Air. Gagasan ini mendorong peran NU di bidang keagamaan.
Menurut Hasib, tema Muktamar NU ke-34 di Lampung sangat relevan dengan pemikira almarhum, yakni kemandirian di ekonomi. “Ini sangat tepat,” ungkapnya.
Menurutnya, kemandirian ekonomi Nahdlyin menjadi tantangan bagi NU. Pasalnya, ada 3 hal yang akan dihadapi NU, yakni meningkatkan dan konsolidasi sumber daya manusia NU, terutama masalah tafaqquh fiddin memperdalam ilmu agama dan mencetak ulama andal yang alim dan alamah agar bisa menggantikan ulama yang sudah meninggal.
Tantangan selanjutnya, kata Hasib, ekonomi Nahdlyin harus kuat dan mandiri karena mayoritas umat Islam di negeri ini adalah warga NU. Dengan demikian, NU harus mampu meningkatkan bisnis warganya, baik dalam skala mikro dan makro.
Tantangan ketiga, kata dia, yakni mencetak sumber daya manusia unggul dengan mendirikan perguruan tinggi atau universitas NU dengan jurusan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Ia bersyukur, selama kepemimpinan KH Said Aqil Siradj, NU telah mempunyai 43 universitas di berbagai daerah dan sejumlah universitas lainnya masih dalam tahap perintisan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Adab & Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) SYarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam, mengungkapkan, almarhum KH Abdul Wahab Chasbullah sangat berperan dalam lahirnya NU dan lepas dari bayang-bayang Masyumi.
“Ternyata memang luar biasa. Mbah Wahab [KH Abdul Wahab Chasbullah] tahu. Keluar dari Masyumi dan masuk parpol itu pilihan yang luar biasa gimana signifikannya suara NU,” ungkapnya.
Adapun sejarawan Anhar Gonggong berpandangan bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah mempunyai peran dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Menurutnya, hal itu karena Soekarno atau Bung Karno mempunyai hubungan cukup erat dengan KH Wahab Chasbullah.
Menurut Anhar, Bung Karno dan KH Wahab Chasbullah kerap berdiskusi tentang persoalan negara di kediaman HOS Cokroaminoto yang terletak di Jalan Peneleh Surabaya. Dengan demikian, ia berpandangan bahwa di balik sikap NU terkat Dekrit 5 Juli 1959 itu terdapat peran KH Wahab.