Jakarta, Gatra.com - Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms, M. Abduhzen menyatakan jika terdapat kekeliruan cara memandang proses pendidikan karakter di sekolah. Proses pendidikan karakter memang betul untuk membentuk seutuhnya karakter agar menjadi manusia berbudaya.
Namun, sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah termasuk di dalamnya pembentukan karakter. Tidak dipisah antara pendidikan seni budaya dan pendidikan karakter.
"Selama ini umum menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika, dan ilmu-ilmu scientific seperti biologi, fisika, kimia. Basis pembentukan karakter adalah ketika orang mampu berpikir logis dan rasional karena terbiasa berpikir oleh ilmu-ilmu scientist," ungkap Abduhzen dalam webinar 'catatan akhir tahun: Pendidikan dan Kebudayaan', pada Rabu (15/12).
Abduhzen menyayangkan pendidikan karakter tidak diperhatikan secara serius. Ia juga mengkritisi rangking PISA Indonesia yang masih rendah.
"Tidak heran, dalam ranking PISA anak-anak didik di Indonesia tidak mampu beranjak dari posisi 6 terbawah dunia, karena memang tidak dibiasakan berpikir (ilmiah), karenanya mereka punya kemampuan science yang lemah. Ketika diberikan soal-soal science maka kemampuan berpikir atau bernalar jeblok karena tidak terlatih berpikir," bebernya.
Di sisi lain, ada juga catatan dari Guru Besar Falsafah & Agama Universitas Paramadina, Prof. Abdul Hadi WM. Menurutnya, pendidikan nasional bisa bergairah kembali jika pendidikan Bahasa kembali diperhatikan. Bahasa, selama ini hanya dipakai sebagai sarana komunikasi tetapi tidak digunakan untuk berpikir.
"Padahal semakin canggih berbahasa maka akan semakin mendukung kecerdasan. Bahasa Jerman telah lama menjadi pedoman Bahasa risalah-risalah ilmiah, sastra dan filosofis bernilai amat tinggi. Jepang setelah Restorasi Meiji memperkuat benteng budaya antara lain dengan memperkuat Bahasa nasional," ucap Hadi.
Baginya, dengan revolusi Bahasa yang dilakukan oleh Jepang, semua bisa menjadi sederhana untuk semua kalangan, bahkan bahasa seorang guru besar dapat ditangkap dengan baik oleh petani. "Semua risalah asing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang. Sementara Bahasa kita saja nampak kekurangan istilah ilmiah," tutur Hadi.
Di kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Paramadina, Fatchiah E Kertamuda mengatakan jika pendidikan merupakan investasi bernilai strategis yang merupakan penanaman modal sumber daya manusia nasional.
Perjalanan pendidikan Indonesia, menurut Fatchiah masih terus mencari pola dan tak tahu sampai kapan ujungnya. "Terlebih dengan munculnya pandemi Covid-19 membuat para tenaga pengajar menjadi harus menyesuaikan sistem pengajaran yang tidak mudah," tutup Fathciah.