Pekanbaru, Gatra.com - Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau, Taufik, menyebut kurang tanggapnya DPRD Riau dalam menyikapi korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA) dipengaruhi kuatnya relasi kuasa yang bisa digunakan untuk kepentingan pemenuhan ongkos politik.
Menurutnya, upaya pemenuhan ongkos politik telah menggiring legislator maupun pejabat eksekutif daerah, berkompromi dengan perusahaan.
Ia mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melihat pengaruh ongkos politik terhadap peluang terjadinya korupsi.
"Hampir sebagian besar kontestan politik calon legislatif maupun calon kepala daerah mendapatkan dana dari sponsor. Artinya ada peluang transaksional," ungkapnya di kota Pekanbaru.
Ia pun meyakini pemilu serentak 2024 bakal menggiring aktor politik, lebih giat mencari sponsor.
Adapun dalam kaitan sektor SDA, DPRD Riau sejatinya pernah membuat gebrakan pada tahun 2015 silam. Saat itu Parlemen Riau melalui panitia khusus (pansus) monitoring perizinan lahan, membongkar keberadaan jutaan hektare kebun sawit ilegal. Dalam temuan itu negara dirugikan triliunan rupiah imbas raibnya potensi pajak.
Belakangan hasil kerja pansus monitoring lahan, turut menjadi referensi bagi KPK dalam memantau potensi korupsi di sektor SDA Riau. Ini terlihat dari kasus yang membelit PT Adimulia Agro Lestari (AA).
Diketahui perusahaan tersebut mendapat sorotan lantaran menyetor uang pelicin senilai Rp2 miliar kepada Bupati Kabupaten Kuansing, Andi Putra. PT AA termasuk salah satu perusahaan yang disidik Pansus Monitoring lahan DPRD Riau tahun 2015 silam.
Meski begitu, hasil pansus monitoring lahan 2015 nyatanya tidak mampu mempengaruhi anggota dewan saat itu untuk menggunakan hak interplasi, hak angket maupun hak menyatakan pendapat.
Kini, pada tahun 2021 lembaga yang dipimpin Yulisman itu menggulirkan pansus konflik lahan. Pansus yang diketuai politisi Gerindra, Marwan Yohanis, itu mulai bekerja pada November 2021. Dalam melakukan kerjanya, pansus ini hanya menjadikan laporan warga sebagai pijakan awal untuk bekerja.
Adapun hasil pansus monitoring lahan yang mengungkap jutaan hektare kebun sawit ilegal, hanya dijadikan data pelengkap, bukan acuan utama.
Kerja pansus sendiri telah mendapat kritikan dari masyarakat. Pengamat Antropologi Riau, Rawa el Almady, menyebut DPRD sebagai lembaga politik bakal kesulitan mengurai konflik yang bersifat teknis.
"Jika pansus itu mencoba mengusut dari sisi teknis, akan sulit membayangkan konflik bisa tuntas dalam enam bulan. Sebab, DPRD itu bukan lembaga teknis, melainkan lembaga politik," ungkap Koordinator Scale up, LSM yang fokus memantau konflik sektor SDA.
Pada tahun 2020 lembaga ini mencatat ada 31 konflik SDA yang melanda Provinsi Riau. Dari jumlah tersebut konflik yang mendera perkebunan sawit paling dominan. Tercatat, ada 26 kasus konflik yang berkaitan dengan tanaman komoditas unggulan Indonesia tersebut. Sisanya, konflik di ranah Hutan Tanaman Industri (HTI).
Menurut Rawa, status sebagai lembaga politik juga membuat DPRD Riau kewalahan mengurusi lahan.
Ia mencontohkan kesulitan DPRD Riau mencari titik temu revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kesulitan tersebut disinyalir lantaran adanya kepentingan korporasi yang coba diakomodir masing-masing kekuatan politik.
"Sebenarnya sebagai lembaga politik sejatinya bisa masuk ke ranah kebijakan, namun mencari kesamaan pandangan politik itu juga tidak mudah. Kalau misalkan gampang, maka revisi Perda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau bisa selesai tahun ini," katanya.