Jakarta, Gatra.com – Indonesia menunjukkan proses kemunduran demokrasi sejak sepuluh tahun terakhir. Hal ini tampak pada sejumlah indikator, yakni menurunnya kebebasan sipil, oposisi yang lemah, parlemen dan partai kurang berfungsi, serta perluasan perangkat represi negara guna menekan kritik dan oposisi.
Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Valina Singka Subekti, dalam diskusi daring pada Selasa (14/12). Dia mengatakan, kondisi itu membuat Indonesia memperoleh label baru sebagai illiberal democracy, oligarch democracy, patrimonialistic democracy, maupun flawed democracy.
“Selama tahun 2020 dan 2021, terlihat penurunan berbagai aspek kebebasan sipil, terutama kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kemudian, ruang demokrasi makin menyusut ditandai oleh peningkatan restriksi lewat cara-cara legal, politik, bahkan ekstra legal (kekerasan), dan upaya pelemahan masyarakat sipil,” jelasnya.
Menurut Valina, pelemahan itu dilakukan melalui metode stick and carrot, labelling, serta framing terhadap kelompok atau gerakan masyarakat sipil yang kritis. Dia mencontohkan, gerakan demo tolak revisi UU KPK dan hasil seleksi pegawai KPK justru direspon dengan kekerasan dan dilabeli sebagai pendemo pesanan dan pendukung taliban.
Valina menambahkan, aktivis yang kritis di media sosial (medsos) juga kerap diistilahkan sebagai social justice warrior (SJW). Selain itu, ada pula yang dilabeli sebagai kadrun, dikriminalisasi, diserang buzzer, bahkan disebarluaskan data pribadinya dan diretas akun medsosnya.
Pada 2020, surat telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020 tentang tindak pidana pada ranah siber memuat atural soal penghinaan kepada presiden atau pejabat pemerintah selama pandemi Covid-19. “Ini adalah bentuk represi negara terhadap pengritik kebijakan pemerintah,” terangnya.
Terkait lemahnya oposisi, Valina menilai situasi itu mengakibatkan struktur kekuasaan parlemen dan eksekutif menjadi tidak berimbang. Keadaan ini dapat melemahkan fungsi kontrol politik DPR, melemahkan checks and balances, serta berdampak pada hadirnya UU yang elitis dan kurang aspiratif.
“Ketiadaan oposisi yang kuat di DPR dan masyarakat sipil menyebabkan minimnya kontrol, serta tersumbatnya kreativitas anggota DPR untuk mengajukan berbagai usulan alternatif kebijakan guna memajukan Indonesia dan pro kepentingan rakyat,” imbuhnya.
Persoalan berikutnya adalah kehadiran kelompok oligarki yang kuat (partai, parlemen dan eksekutif). Hal ini telah memunculkan proses politik yang tertutup dan tak setara. Oportunisme dan pragmatisme politik elite yang menguat juga menyuburkan praktik kartel politik dalam perumusan kebijakan.
Valina menuturkan, praktik tersebut bisa menutup akses komunikasi politik elite dengan rakyat yang seharusnya menjadi basis dalam proses pembuatan kebijakan. Struktur kekuasaan yang oligarkis itu telah melahirkan UU yang kurang berpihak rakyat dan lebih menguntungkap elite seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan UU Minerba.