Jakarta, Gatra.com - Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT), Muhammad Khayam mengatakan, Kementerian Perindustrian terus mendorong kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada tahun 2022.
Tujuannya, untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional. Terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.
"Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional," katanya di Jakarta, Minggu (12/12).
Menurut Khayam, kebijakan substitusi impor memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing. Pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan substitusi impor dari sisi suplai meliputi perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong untuk industri eksisting, peningkatan investasi baru, serta peningkatan utilisasi industri.
"Sektor IKFT diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut," ujarnya.
Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang kimia yang tumbuh positif sebesar 9,71% (y-o-y) pada kuartal III tahun 2021.
Khayam menyebut, saat ini terdapat 223 perusahaan farmasi formulasi/produk jadi, termasuk empat perusahaan BUMN, yakni PT Bio Farma Tbk (sebagai holding), PT Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Phapros Tbk. Berikutnya, sebanyak 195 industri swasta nasional, serta 24 multinational company (MNC).
"Pasar farmasi Indonesia tahun 2019 sekitar Rp88,3 triliun, tumbuh 2,93% dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, 76-80% kebutuhan produk obat nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri," jelasnya.