Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito, menegaskan bahwa jurnalis adalah seorang buruh, sama seperti buruh-buruh lainnya yang bekerja di sektor berbeda.
“Kami ingin menegaskan bahwa jurnalis adalah buruh karena kita menerima upah setiap bulan. Jadi jurnalis itu buruh sama dengan teman-teman buruh yang lainnya,” kata Sasmito dalam sebuah webinar yang digelar oleh AJI Indonesia pada Jumat, (10/12/2021).
Sasmito mengucapkan hal tersebut dalam konteks diskusi mengenai putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dikeluarkan pada 25 November 2021 yang lalu. MK membuat amar putusan yang menyebutkan bahwa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
“Saya sangat menyesalkan gestur dari pemerintah ini karena komitmen pasca-putusan MK ini komitmen langsung ke pengusaha akan keberlanjutannya, tapi saya tidak melihat komitmen terhadap teman-teman buruh,” kata Sasmito.
“Dari sisi ini saja kita melihat ada perbedaan komitmen dari pemerintah ke pengusaha dan teman-teman buruh. Mudah-mudahan ini bisa dikoreksi karena ini kan Kementerian Ketenagakerjaan, bukan Kementerian Pengusaha,” tandas Sasmito.
Sasmito juga menyampaikan hasil riset yang dilakukan oleh AJI Indonesia, berkolaborasi dengan International Federation of Journalists (IFJ), yang mereka lakukan pada Oktober-November 2020.
Riset tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 85,3% jurnalis Indonesia mengaku kondisi ekonominya tedampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Rinciannya, sebanyak 53,9% mengaku honornya dikurangi. Sebanyak 24,7% mengaku gajinya dipotong. Sebanyak 5,9% mengaku mengalami PHK. Sebanyak 4,1% mengaku dirumahkan.
Sasmito menyebut bahwa sebagian besar dari jurnalis-jurnalis tersebut berstatus karyawan tetap (kartap). Kalau ditambah jumlah jurnalis dengan status kontrak, pekerja lepas, atau kontributor daerah, maka angkanya disinyalir bisa lebih tinggi.
“Artinya memang selama pandemi kemarin dampaknya luar biasa untuk teman-teman jurnalis. Angka ini akan terus bertambah,” kata Sasmito.
Kondisi tersebut, kata Sasmito, diperparah dengan masih banyaknya jurnalis yang masih belum bergabung atau memiliki serikat kerja di perusahaan masing-masing. Riset tersebut menemukan hanya terdapat sebanyak 24,9% jurnalis Indonesia yang mengikuti serikat pekerja.
“Ini artinya walaupun jumlah perusahaan media mengalami peningkatan pasca-reformasi, tapi pertumbuhan serikat pekerja media itu memang sangat minim. Bahkan catatan AJI itu hanya tumbuh sekitar 1%-2% setiap tahunnya,” kata Sasmito.
“Kalau dilihat dari keaktifannya pun dari 40-an serikat pekerja media, masih sangat sedikit yang aktif,” imbuh Sasmito.
Dalam kaitannya dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja, AJI Indonesia menentukan sikap bahwa mereka dengan tegas menolak UU Cipta Kerja. “Karena dari beberapa kasus yang kita advokasi, kasus ketenagakerjaan, walaupun pasca-putusan MK kemarin, masih menggunakan UU Cipta Kerja,” kata Sasmito.