Jakarta, Gatra.com – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengungkapkan alasan di balik langkah pemerintah mengambil kebijakan moratorium kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran Utang (PKPU). Penyebabnya adalah situasi luar biasa yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
“Saya selalu katakan bahwa pandemi Covid-19 itu adalah daya paksa. Dan asas yang berlaku sangat umum dalam daya paksa atau force majeure adalah adagium yang menyatakan bahwa di dalam keadaan yang sangat memaksa itu tidak ada hukum,” kata Edward dalam sebuah talkshow yang digelar di Jakarta, pada Kamis, (9/12).
“Tidak ada hukum bukan berarti sebebas-bebasnya, tetapi ada situasi-situasi yang tidak dijalankan dalam konteks normal,” kata eks akademisi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Pembicaraan soal moratorium kepailitan dan PKPU ini muncul akibat dari suiltnya debitur membayar utang kepada kreditur, dalam hal ini pihak perbankan, selama pandemi melanda. Perjanjian antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur) tertuang pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.
Selain itu, Edward juga menekankan bahwa pengambilan langkah yang dilakukan oleh pemrintah ini juga bertujuan untuk menurunkan angka kepailitan serta mencegah pengusaha yang masih dalam kondisi solven terpaksa masuk ke dalam proses kepailitan yang bisa menyebabkan kelangsungan usahanya terganggu.
Edward menyebutkan tiga opsi di dalam kebijakan pemerintah tersebut. Pertama, penundaan permohonan kepailitan dan PKPU dalam jangka waktu tertentu. Kedua, pelarangan permohonan kepailitan dan pembukaan permohonan PKPU. Ketiga, menerapkan syarat tepat dalam permohonan kepailitan dan PKPU, misalnya seperti menentukan batas minimal nilai utang.
“Ini semua debatable, tapi yang penting adalah bagaimana kita berusaha bersama karena kondisi pandemi Covid-19 ini masih tidak menentu dan dampaknya pun menjadi tanggung jawab kita bersama,” ucap Edward.