Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut Presiden PT Trada Alam Minera, terdakwa Heru Hidayat, dijatuhi hukuman mati dalam perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri pada Senin (6/12).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam siaran pers dikutip pada Kamis (9/12), menyampaikan, JPU menuntut Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati atas beberapa pertimbangan, di antaranya mencederai rasa keadilan masyarakat dan tindakan pidana berulang.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, kepada wartawan menyampaikan bahwa tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat tidak tepat.
Nur berpendapat, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat tersebut tidak tepat karena dua alasan. Pertama, karena JPU tidak mendakwakan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dalam surat dakwaan, lanjut dia, JPU mendakwa terdakwa Heru Hidayat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor. Pasal ini tidak terdapat adanya ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa.
Adapun ancaman pidana hukuman mati, tandasnya, justru terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan JPU terhadap Heru Hidayat.
Menurutnya, jika JPU menuntut terdakwa Heru Hidayat dihukum mati, maka JPU harus mencantumkan Pasal Pasal 2 Ayat (2) tersebut, sehingga bisa menuntut dengan hukuman mati. Pencantuman pasal tersebut, kemudian harus dibuktikan dalam persidangan, khususnya soal unsur dalam keadaan tertentu yang mendasari ancaman hukuman mati.
“Di dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” ujarnya.
Alasan kedua, lanjut dia, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Sebab, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri. Ia berpendapat, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan, yakni perkara Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.
Karena itu, ia menilai bahwa waktu perbuatan dalam kedua perkara itu hampir bersamaan. “Kalau saya perhatikan, tempusnya [waktu] hampir bersamaan. Artinya, waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” katanya.
Menurutnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.
“Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” katanya.
Konkursus realis ini, kata dia, berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurutnya, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Lebih jelasnya ia mencontohkan soal pengulangan tidak pidana atau residive, misalnya seseorang diputus pidana, setelah diputus pidana, kemudian kembali melakukan perbuatan pidana.
“Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” ungkapnya.
Sebelumnya, JPU menilai bahwa perbuatan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan pertama, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua, yakni Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).