Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut Presiden Komisaris (Preskom) PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dihukum mati dalam perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri.
Kuasa hukum terdakwa Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, pada Senin (6/12), menyampaikan, tuntutan hukuman mati terhadap kliennya menyalahi aturan dan merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Menurutnya, tuntutan tersebut menyalahi aturan dan berlebihan karena dalam perkara ini, JPU tidak mendakwakan Pasal Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipkor) yang mengatur seorang terdakwa dapat dituntut hukuman mati.
“Dalam dakwaan Bapak Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor dalam dakwaannya,” ungkap Kresna.
Menurutnya, dalam perkara ini, JPU mendakwa Heru Hidayat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dalam surat dakwaan.
“Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power,” tandasnya.
Kresna melanjutkan, selain itu, dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor dan penjelasannya tentang keadaan tertentu dalam penerapan hukuman mati, syaratnya adalah ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana.
“Dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut tidak ada. Dari awal surat dakwaan, tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan Pasal 2 Ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor ke dalam dakwaannya. Kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati?” ujarnya.
Menurut Kresna, alasan JPU bahwa ini merupakan pengulangan tindak pidana, adalah tidak benar. Ini bisa dilihat di KUHP, apa itu pengertian dari pengulangan tindak pidana, yakni orangnya harus dihukum terlebih dahulu, baru kemudian melakukan tindak pidana.
Sedangkan dalam perkara ini, sangat jelas bahwa tempus atau waktu perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah 2012-2019, sebelum Heru Hidayat dihukum dalam perkara Asuransi Jiwasraya, sehingga jelas ini bukan pengulangan tindak pidana.
Selain itu, kata Kresna, dari fakta persidangan selama ini, jelas tidak ada bukti yang menyatakan bahwa Heru Hidayat menerima aliran uang sejumlah Rp12 triliun lebih yang dituduhkan JPU. Heru Hidayat pun terbukti tidak memberikan sesuatu apa pun kepada pejabat Asabri.
Tim Kuasa Hukum Heru Hidayat dari NKHP Law Firm ini, berpendapat bahwa unsur kerugian negara juga tidak terbukti karena sampai saat ini Asabri masih memiliki saham-saham dan unit penyertaan dalam Reksadana.
Kemudian, kata Kresna, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tidak pernah menghitung keuntungan yang pernah diperoleh Asabri dalam penjualan saham periode 2012-2019, sehingga jelas tidak terbukti perbuatan yang didakwakan oleh JPU.
“Kita di pengadilan ini kan untuk menegakkan hukum dan mencari Keadilan, bukan untuk mencari nama atau membuat sensasi. Tentunya, tuntutan yang di luar dakwaan ini sudah mencederai rasa keadilan dalam perkara ini, khususnya untuk Heru Hidayat,” ujarnya.
Tim kuasa hukum terdakwa Heru Hidayat sangat meyakini dan berharap Yang Mulia majelis hakim tidak akan bertindak seperti JPU dalam memutus perkara menggunakan pasal yang di luar dakwaaan. Sebab, dalam KUHAP jelas diatur majelis hakim dalam membuat putusan adalah berdasarkan dakwaan, yaitu dakwaan terbukti atau tidak terbukti.
“Tentunya, nanti dalam pembelaan kami, semua kejanggalan dan keanehan dalam perkara ini akan kami ungkap,” tandasnya.