Jakarta, Gatra.com – Advokat Serfasius Serbaya Manek, turut menanggapi kasus perdebatan antara Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dengan warga Sumba yang viral di media sosial. Perdebatan tersebut terkait pembebasan lahan di Desa Kabaru, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, NTT beberapa waktu lalu.
Menurut Serfasius, publik NTT memberikan pengecaman yang tidak adil terhadap Gubernur Viktor. Dia melihat, publik tidak melihat keutuhan informasi dalam perdebatan tersebut.
"Publik tidak melihat keutuhan informasi. Pertanyaannya, apakah benar informasi yang tersebar itu adalah utuh? Kalau utuh faktor penyebabnya apa? Sehingga ada keadilan untuk semua pihak," ujar Serfasius kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (4/12).
Serfasius mengatakan, Gubernur Viktor dalam pertemuan tersebut sebagai pelayan publik. Dalam hal ini melakukan kunjungan kerja. "Tentu dia datang bukan untuk memarahi rakyatnya, tetapi dia datang untuk melayani masyarakatnya. Sehingga tidak adil kalau publik mengatakan gubernur buruk di dalam komunikasi publik, itu tidak adil," tegasnya.
Serfasius menambahkan, karakteristik orang NTT sebenarnya ekstrover. Artinya, selalu mengatakan sesuatu secara terbuka sehingga perdebatan dengan Gubernur tersebut hanya insiden kecil dalam berkomunikasi.
"Itu sifatnya situasional dan kondisional, bukan sesuatu yang didesain. Karena itu, masyarakat tidak boleh terkotak-kotak atas peristiwa itu. Harus melihat seutuhnya," katanya.
Secara spesifik, kata Serfasius, Gubernur Viktor ke Desa Kabaru mewakili seluruh rakyat NTT untuk memajukan peternakan sebagai bagian dari pelayanan publik. Sementara dari segi aturan reformasi agraria, prinsip dasarnya adalah untuk kepentingan umum negara berhak atas lahan tersebut.
"Karena itu kita jangan sampai menghakimi tanpa melihat regulasinya, yang kita lihat itu kan sepotong-sepotong lantas membuat konklusi, gubernur salah, pemda salah, masyarakat benar, tokoh adat benar. Ini kan tidak adil," jelasnya.
"Yang benar adalah semua pihak duduk bersama. Pemda menjelaskan aturannya kepada publik, masyarakat memahami dan apa solusi yang terbaik dari pemerintah yang berniat baik untuk menjadikan NTT itu, khususnya Sumba sebagai lumbung sentral daging sapi nasional yang berkelas premium," tambahnya.
Serfasius yakin, Gubernur Viktor tidak akan menolak masukan sejauh masukan itu komprehensif dan konstruktif. Pernyataan memenjarakan rakyat, kata Serfasius, berbicara soal mekanisme hukum. Dalam hal ini, ketika ada pihak yang menghalangi proses pembangunan untuk kepentingan publik.
"Jika di luar koridor aturan itulah membuat gubernur berkata demikian. Kalau masyarakat berperilaku menghalangi pembangunan ya penjarakan," katanya.
Meski demikian, kata Serfasius, pemerintah dalam mengatasi konflik agraria harus mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Perpres tersebut dibuat untuk menangani sengketa dan konflik agraria, menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
"Semuanya ada di situ. Salah satunya demi kepentingan publik, negara berhak sejauh hak-hak masyarakat seperti mekanisme pembebasan lahan dengan cara ganti rugi dan lain-lain atau menyisakan manfaat ekonomi untuk masyarakat," jelasnya.
Kandidat Doktor Ilmu Hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH) ini meminta para politisi tidak membuat pernyataan yang berlebihan atas kasus tersebut yang berpotensi mengganggu hubungan masyarakat dan Pemerintah NTT.
"Publik, termasuk para politisi jangan seenaknya membuat pernyataan karena akan berpotensi mengganggu hubungan masyarakat dan pemerintah daerah NTT dalam membangun," tukas putra asal Belu, NTT ini.
Diketahui, perdebatan Gubernur Viktor dengan masyarakat adat Sumba Timur tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak. Sejumlah Mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur menggelar demonstrasi di Depan Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Jumat (3/12).
Para mahasiswa tersebut mengecam keras tindakan rasisme yang dilontarkan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat terhadap masyarakat adat Desa Kabaru, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur.
Koordinator Aksi Jimi Anus Tamo Ama meminta supaya menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan lain terhadap masyarakat adat Sumba, khususnya dan masyarakat adat di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur.
Jimi juga mendesak Presiden Joko Widodo agar segera memerintahkan Kapolri mengusut tuntas dugaan tindak pidana rasisme dan penghinaan yang dilakukan Gubernur Viktor.
"Kami mendesak Viktor Bungtilu Laiskodat untuk turun dari jabatannya sebagai Gubernur di Nusa Tenggara Timur," tegasnya.
"Kami mendesak Pemerintahan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk segera membuat Perda pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur," tambahnya.