Home Pendidikan Eny Retno: Wujudkan Ekosistem Pendidikan Islam Tanpa Diskriminasi

Eny Retno: Wujudkan Ekosistem Pendidikan Islam Tanpa Diskriminasi

Sleman, Gatra.com - Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama, Eny Retno Yaqut Quomas meminta seluruh jajaran Kementerian Agama berbuat lebih banyak lagi untuk mewujudkan ekosistem pendidikan Islam yang setara tanpa diskriminasi.

"Today i've seen alot but it's not enough," katanya saat diwawancarai wartawan di sela-sela Temu Terap Madrasah Inklusif yang digelar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Sleman, Yogyakarta, Jumat (3/12) lalu.

Eny Retno, yang juga istri Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini menegaskan, Kemenag telah membuka pintu lebar-lebar untuk disabilitas, dan itu membutuhkan persiapan dan pelaksanaan dengan energi yang luar biasa besar.

Sementara kondisinya saat ini jumlah madrasah yang ramah disabel masih minoritas. "Today we're open the door, but you are not even get into the room," tambahnya.

Wanita kelahiran Rembang, 19 Maret 1975 ini menegaskan posisinya sebagai pendorong program inklusi agar tercapai sesuai perencanaan. "Saya ingin pastikan bahwa hari ini saya akan menjadi ibu yang mengawal agar hidup kita lebih baik dan lebih bermakna," katanya.

Kementerian Agama menggelar peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 yang dipusatkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat lalu. Dalam rangkaian peringatan ini, Kemenag menggelar rangkaian empat kegiatan, yaitu Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education ICODIE, Annual Conference on Community Engagement for Peaceful Transformation (ACCEPT), peringatan puncak Hari Disabilitas Internasional Kemenag 2021, dan Deklarasi Hari Disabilitas.

Terkait peringatan hari Disabilitas ini, saat ini masih terbatas sekolah-sekolah yang punya komitmen memberikan perhatiannya kepada kaum ini. Sementara pendidikan Inklusi merupakan bagian yang hilang dalam evolusi pendidikan Islam di Kementerian Agama.

Sementara saat ini Kemenag baru memiliki 77 madrasah inklusi yang sebarannya belum merata, masih didominasi oleh wilayah pulau Jawa, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Banten.

Untuk yang di luar pulau Jawa baru Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Untuk perguruan tinggi baru ada satu, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sedangkan untuk mewujudkan sebuah sekolah ramah disabilitas bukanlah hal mudah. Satu sekolah ramah difabel harus memiliki guru pendamping, fasilitas khusus, dan sarana yang memadai. Biayanya tentu tidak sedikit.

MAN 2 Sleman misalnya, dilengkapi dengan berbagai fasilitas pro disabel, seperti ramp yang bisa diakses menggunakan kursi roda, guiding block untuk disabilitas netra, literasi braille, komputer khusus, aplikasi Jaws dan Envudia, yang dapat mengubah teks menjadi suara, serta ruang Unit Layanan Difabel (ULD).

Eny meminta jajaran Ditjen Pendidikan Islam tak lelah mencurahkan energi untuk mewujudkan rencana mulia ini. "Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dirjen Pendis yang telah mengupayakan pendidikan Islam ramah disabilitas sampai sejauh ini," katanya.

Saat ini Kemenag telah membentuk Kelompok Kerja Pendidikan Ramah disabilitas dan telah membentuk jaringan para fasilitator. Diharapkan mereka dapat menjamin program ini diimplementasikan dengan baik di tingkat unit satuan pendidikan.

Semua unsur pendidikan Islam, mulai Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), hingga pondok pesantren, tandas Eny, harus memberikan layanan pendidikan bagi kaum difabel dengan memahami kebutuhannya dalam pelaksanaan pendidikan tersebut.

"Mereka tidak hanya diterima, tetapi dilayani kebutuhannya dalam lingkungan pendidikan Islam yang setara dan moderat," tambahnya. Dalam melaksanakan pendidikan inklusi ini, Kemenag telah membuat konsep, regulasi, dan implementasi. Tetapi tanpa dukungan semua pihak hal itu akan sulit konsisten. Untuk itu Eny meminta semua pejabat di tingkat pusat, wilayah, dan satuan pendidikan termasuk pesantren dan organisasi profesi harus bersinergi.

Dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional Kemenag 2021 ini, Eny Retno ditahbiskan sebagai “Bunda Disabilitas”, yang akan menjadi Duta kaum disabel memperjuangkan pendidikan yang setara tanpa diskriminasi.

Pada hari yang sama dilakukan pengukuhan pengurus Forum Pendidik Madrasah Inklusi (FPMI) Provinsi Yogyakarta dan peluncuran portal FPMI Pusat di MAN 2 Sleman. Madrasah ini merupakan peristis sekolah difabel yang telah memulainya sejak tahun 1960.

Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Sleman, Muhammad Wahdan Zani mengaku senang dengan perjalanan sekolahnya sampai saat ini. Di sekolah yang memiiki tagline "Madrasah Riset dan Inklusi" ini, terdapat 20 siswa difabel di kelas X, XI, dan XII. Sejauh ini pembauran antara siswa umum dan disabel dalam proses belajar mengajar tidak mengalami kendala berarti, meskipun kurikulum siswa disabilitas tidak dibedakan dengan siswa umum.

Bila ada kendala, kata Wahdan, sifatnya hanya kekurangan fasilitas pelengkap, seperti globe khusus untuk tuna netra dan printer khusus braille. Alat-alat khusus ini harganya cukup mahal dan belum terjangkau pembiayaan pemerintah maupun swadaya madrasah.

"Hal yang menggembirakan, siswa sudah memiliki paradigma disabilitas para siswa disabel sehingga menyatu dalam kehidupan harian yang saling membantu. Lebih dari itu masyarakat dan pengguna jalan raya juga cukup sensitif disabilitas, sehingga siswa kami dimudahkan dalam menjalani aktifitas harian," ungkapnya.

1337