Sleman, Gatra.com - Berbicara dalam acara Fisipol Leadership Forum: Road To 2024 Seri #1, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan filosofi politiknya menyangkut dua nilai, yakni akal sehat dan tahu diri.
"Dalam politik akal sehat, saya terkadang harus melawan apa yang menurut saya tidak benar, termasuk dalam kebijakan pemerintah," kata Kang Emil, sapaannya, Kamis (2/12) lalu, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Kang Emil mencontohkan saat dirinya menolak kebijakan pemerintah dalam impor beras. Pasalnya saat itu Jabar mengalami surplus panen beras yang mencapai 1 juta ton lebih.
Menurutnya, penolakan itu berisiko menimbulkan persepsi publik yang menempatkan dirinya melawan pemerintah pusat dan mbalelo. Namun hal itu harus ia lakukan karena akal sehatnya menyatakan mesti melawan.
Nilai kedua adalah tahu diri. Emil menyebut pada 2024, karena saat ini tak memiliki kendaraan partai politik untuk maju dalam pemilihan presiden, Emil berkata akan fokus pada upaya memperbaiki kekurangan di depan mata.
"Kepribadian saya penuh dengan daya transformasi yang mengandung nilai perubahan, visioner, dan problem solving. Saya mencoba menyeimbangkan daya personal dengan transformasi ini," lanjutnya.
Sayangnya, kata Emil, sistem demokrasi di Indonesia tidak memilih orang pintar, tapi sosok yang disukai. Alhasil, para elit politik berlomba mencitrakan diri dan menjadi kreator konten media sosial agar lebih dikenal dan disukai masyarakat.
Kondisi ini dinilai cenderung menyisihkan para calon pemimpin yang memiliki daya transformasi.
Dalam diskusi selama satu setengah jam di kampus almamater Presiden Jokowi itu, Emil bercerita upayanya menjadi pemimpin yang sempurna, tidak cacat, dan tidak boleh terbawa perasaan menurut pandangan masyarakat.
"Saya belajar politik Bung Karno yang menempatkan politik arsitektur sebagai jalan utama. Jika kita lihat Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, maka akan teringat terus sosok Bung Karno," katanya.
Menurutnya, kehadiran seorang pemimpin tanpa warisan arsitektur akan susah dikenang oleh masyarakat. Arsitektur dan pembangunan fisik bagi Emil sangat penting karena itu menjadi legitimasi kepemimpinannya.
Demikian juga dengan kehadiran ruang publik berupa taman dan alun-alun. Ruang publik akan menciptakan masyarakat yang ramah dan bahagia karena masyarakat berinteraksi dan menyampaikan aspirasi.
Kondisi itu, kata Emil, berbeda dengan kota yang tidak memiliki ruang publik atau memagari ruang publik. Kehidupan warganya cenderung tidak ramah, introvert, dan tertekan.
"Ruang publik itu membahagiakan. Ruang publik itu melakukan pertumbuhan ekonomi. Bukannya tujuan pembangunan itu kebahagiaan," ucapnya.