Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, masyarakat harus menolak ambang batas pencalonan presiden (presidential thershold). Ia pun mendorong agar ketentuan ini dihapuskan.
Dilansir dari siaran video yang ditayangkan dalalam diskusi Aliansi Kekuatan Rakyat Berdaulat (AKRAB), Kamis (2/12), Refly mengatakan, penghapusan ambang batas tersebut demi menyelamatkan Indonesia.
Refly mendorong agar presidential threshold ini dihapuskan karena ketentuan ini merusak demokrasi pemilihan umum calon presiden (Pilpres). Ketentuan ambang batas ini merupakan celah bagi para pemodal untuk membajak demokrasi dan memenangkan Pilpres 2024.
“Presidential threshold hanya menjadikan demokrasi kriminal, demokrasi jual-beli 'perahu', demokrasi yang menggunakan kekuatan finansial untuk memenangkan kompetisi pemilihan presiden dan wakil presiden,” katanya.
Tanpa adanya ambang batas, lanjut Refly, maka setiap partai politik dapat mengusung calon presiden (capres) dan wakilnya sehingga rakyat mempunyai ragam pilihan dalam pemilihan mendatang.
“Setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu diberikan hak konstitusional untuk mengadukan pasangan presiden dan wakil presiden sesuai dengan ketentuan konstitusi UUD 1945," ujarnya.
Senada dengan Refly, Anggota DPD Tamsil Lindrung, menyampaikan, presidential threshold hanya mengebiri demokrasi dan tidak bisa mewujudkan demokrasi yang ideal.
Ia mengungkapkan, Pasal 6A UUD 1945 mengatur bahwa pasangan capres dan wakilnya diusulkan oleh partai politik(Parpol) atau gabungan parpol peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
“Tapi ternyata, ada lagi UU yang dibuat yang mengatur turunan dari pasal ini dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang memberikan ambang batas pencalonan,” ungkanya.
Karena itu, Tamsil mengaku akan mengajukan uji materi (judicial review) terkait penghapusan presidential threshold. Pengajuannya dilakukan oleh lembaga atau perorangan. “Bulan Desember ini kami akan ajukan supaya kita menghapus presidential threshold,” katanya.