Jakarta, Gatra.com- Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Semarang Raden Rara Ayu membeberkan kerentanan terhadap lembaganya dalam pengentasan kekerasan perempuan. Hal tersebut menurut catatan dari LBH Apik Semarang dari tahun 2016 hingga tahun 2021 per bulan Oktober lalu.
"Kami mendapat ancaman dan intimidasi dari pelaku atau keluarga pelaku. Antara lain mengirim pesan melalui via chat, telepon, datang langsung ke kantor, dan mengirimkan seperti apa ya, santet, ya seperti itu," ungkapnya, via Zoom dalam webinar bertajuk "Cerita Dibalik Perjuangan Pengentasan Kekerasan terhadap Perempuan", yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Indonesia untuk Kemanusiaan pada Selasa, (30/11).
Selain itu, Rara mengatakan bahwasanya mereka juga mendapatkan intimidasi dari aparat penegak hukum ketika melakukan pendampingan bantuan hukum. Kemudian mendapatkan hujatan dan stigma negatif dari masyarakat sekitar tempat tinggal korban, bahkan dari sekolah korban. "Ini khususnya ketika kami mendampingi anak korban kekerasan seksual, kami pernah mendapat hujatan dari sekolah korban," ucapnya.
Rara mengatakan mereka pun mendapatkan ancaman pada nyawa pendamping. "Itu sangat terancam sekali ketika melakukan pendampingan bantuan hukum," ujarnya.
Bahkan Rara menyebut ada salah satu pendamping yang mengalami kecelakaan ketika saat proses pendampingan bantuan hukum. Dan diduga yang melakukannya adalah salah satu dari pihak keluarga pelaku.
Lalu, lanjutnya, media sosial pendamping di-hack atau diretas dan ada pelaku yang menguntit aktivitas pendamping. "Jadi memang ini adalah salah satu pengalaman teman pendamping ya, di mana ketika selesai melakukan proses pendampingan bantuan hukum di kantor kepolisian, kemudian dikuntit sampai di kantor," tutur Rara.
Lebih lanjutnya, ranah privasi pendamping menjadi tidak aman. Antara lain, pelaku melakukan perusakan pintu rumah pendamping. "Ya ini juga sangat riskan sekali untuk teman-teman pendamping di tahun 2020, memang ada salah satu teman pendamping yang mengalami kerusakan pintu rumahnya oleh salah satu pelaku. Di mana saat itu kami mendampingi kasus yang melibatkan tokoh," kata Rara.
Terakhir, sambungnya, adalah pendamping rentan mengalami krisis psikologis beban kerja. "Ya selama pandemi COVID-19 kami harus kerja dari rumah, padahal teman-teman pendamping juga memiliki ranah pribadi. Jadi memang teman-teman pendamping mengalami beberapa hambatan saat melakukan proses pendampingan bantuan hukum untuk korban kekerasan berbasis gender khususnya," tandas Rara.