Jakarta, Gatra.com – Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mendesak agar Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dicabut secara permanan. Pasalnya, proses legislasi dan muatan UU Cipta Kerja bermasalah sejak awal dirumuskan.
“Kami tidak menolak konsep UU dalam bentuk omnibus law, selama UU tersebut mewadahi hajat hidup orang banyak, hajat hidup bangsa Indonesia,” ungkap Juru Bicara PRIMA, Farhan Abdilah Dalimunthe, dalam keterangannya, Sabtu (27/11).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, UU tersebut masih tetap berlaku hingga dilakukan perbaikan pembentukan dengan tenggang waktu dua tahun sejak putusan MK.
MK juga memerintahkan kepada Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan perbaikan paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
MK menegaskan, jika pembentuk undang-undang tidak bisa menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja dalam tenggang waktu dua tahun, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Farhan menyatakan, UU Cipta Kerja menjadikan negara berpihak atau menjadi alat bagi satu golongan yaitu investor dan segelintir orang super kaya alias oligarki. Karena itu, UU tersebut mendapat penolakan luar biasa dari rakyat Indonesia, baik akademisi, tokoh agama, petani, buruh, mahasiswa, bahkan pelajar.
“Filosofi dan konsepsi UU Cipta Kerja itu berwatak liberal kapitalistik, sehingga bertentangan dengan Pancasila. Sebab, negara menyerahkan nasib hidup bangsa kepada korporasi, dengan mempermudah dan membuka selebar-lebarnya keran investasi di Indonesia,” imbuhnya.
Farhan mengatakan, pembangunan ekonomi yang liberal-kapitalistik mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum pernah dirasakan seutuhnya oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Merujuk laporan Bank Dunia, dia menyebut pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata hanya dinikmati oleh 20% warga negara paling kaya, sedangkan 80% sisanya atau sekitar 200 juta rakyat masih berada dalam jerat kemiskinan.
“Tak hanya itu, ketimpangan ekonomi di Indonesia juga masih begitu lebar. Berdasarkan cacatan OXFAM, Indonesia menempati peringkat 6 negara paling timpang di dunia. Sementara Credit Suisse melabeli Indonesia sebagai negara paling timpang peringkat ke 4 di dunia,” terangnya.
Farhan pun beranggapan bahwa rakyat Indonesia butuh UU Anti-Oligarki. Usulan ini ia sampaikan menilik kehidupan ekonomi dan politik sekarang yang cenderung dikuasai segelintir orang super kaya atau oligarki.
“UU tersebut merupakan UU omnibus, yang akan melikuidasi seluruh peraturan maupun regulasi yang merugikan rakyat Indonesia seperti UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Cipta Kerja, dan undang-undang lainnya yang bermasalah,” jelasnya.
Menurut Farhan, semangat omnibus law mesti diarahkan untuk melindungi kepentingan hidup rakyat banyak. Bukan justru hanya menguntungkan segelintir elit. Terlebih, sumber daya yang terkonsentrasi bisa menyebabkan kesenjangan, serta membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Farhan menambahkan, UU Cipta Kerja juga rentan menimbulkan konflik agraria dan perusakan lingkungan. Hal itu karena investasi yang menjadi penggerak utama tentu membutuhkan lahan, tanah, mengeruk bumi, dan merambah hutan.