Jakarta, Gatra.com – Kepala Peneliti Bidang Ketahanan Pangan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah masalah terkait input pertanian yang menyebabkan belum maksimalnya produktivitas yang dihasilkan di sektor pertanian Tanah Air.
“Pertama, terlepas dari besarnya dan cenderung fluktuatifnya nilai subsidi input, terutama pupuk output pertanian dalam dua dekade terakhir itu cenderung datar, yang mana ini menunjukkan bahwa cenderung tidak ada korelasi antara peningkatan subsidi input, pertama subsidi pupuk dengan peningkatan produktivitas,” ujarnya dalam webinar yang digelar CIPS, Selasa (23/11).
Masalah kedua, jelas Aditya, yakni kelangkaan Pupuk. Terlepas dari subsidi pupuk yang meningkat dari tahun ke tahun dan sekarang telah mencapai sekitar Rp25–Rp30 triliun tiap tahunnya, kelangkaan pupuk bersubsidi masih sering terjadi.
Terkait kelangkaan pupuk, Aditya menjelaskan bahwa perilaku petani ketika pupuk bersubsidi tidak tersedia adalah jika mereka mampu maka akan terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan harga yang jauh lebih mahal.
Sedangkan bagi petani yang tidak mampu, akan terpaksa mengurangi dosis penggunaannya atau beralih kepada pupuk kompos atau melakukan pengurangan biaya pada input lainnya.
“Misalnya dia pakai pupuk yang non-subsidi harganya lebih mahal, tapi dia pakainya benih yang lebih murah,” jelasnya.
Permasalahan berikutnya, yakni masih rendahnya penggunaan varietas unggul baru dan varietas hibrida. Hal ini terjadi terutama pada tanaman padi.
Saat ini, untuk padi varietas paling populer masih Ciherang dan Mekongga. Kedua varietas tersebut dirilis sudah cukup lama pada awal 2000-an silam.
Masalah terakhir, ungkap Aditya, adalah pemupukan berimbang yang masih harus ditingkatkan. Fakta di lapangan, saat ini penggunaan pupuk urea masih sangat dominan.
“Jadi ada overdosis dibanding pupuk majemuk seperti NPK dan dibanding juga pupuk organik. Penggunaan pupuk organik masih belum ideal,” jelasnya.
Menurutnya, penggunaan pupuk sejauh ini masih sangat dipengaruhi oleh faktor subsidi. Pasalnya, berdasarkan harga, urea tergolong pupuk bersubsidi yang harganya paling murah dan paling banyak secara kuantitas.
Dalam dua dekade terakhir pertumbuhan subsidi melonjak begitu tinggi dan sangat fluktuatif. Bahkan jumlahnya bisa sampai beberapa ratus persen. Hanya saja, untuk pertumbuhan output cenderung datar kenaikan sekitar 6% pada tahun 2008 dan bahkan pada 2018 sempat mengalami penurunan.
“Tren kenaikan nilai subsidi selalu naik dan paling banyak secara kuantitas adalah urea,” ungkapnya.
Aditya menuturkan bahwa program di bidang input pertanian yang paling besar itu adalah subsidi pupuk, kemudian bantuan benih, dan program-program lain terkait rehabilitasi jaringan irigasi serta bantuan unit pengolah pupuk organik.
Terkait subsidi pupuk, Aditya menjelaskan bahwa sekarang penebusan pupuk bersubsidi telah menggunakan Kartu Tani, namun masih banyak petani yang belum menggunakannya.
“Dari segi konsep, menurut kami sebenarnya penggunaan Kartu Tani sebagai smart card untuk penyaluran bantuan cukup menjanjikan secara konsep. Namun dalam bentuknya, saat ini dia masih sangat terbatas karena fungsinya sebagai besar hanya untuk penebusan pupuk. Ini membawa pada rekomendasi kebijakan dari kami yaitu untuk beralih ke skema direct payment atau pembayaran langsung melalui Kartu Tani untuk sebagai intervensi jangka pendek dan menengah.”
“Pembayaran langsung ini berupa saldo yang bisa ditransfer saja ke Kartu Tani. Saldo ini harus dapat digunakan untuk pembayaran berbagai jenis input pertanian yang tersedia di toko pertanian," ujarnya.
Aditya menilai, seharusnya Kartu Tani tidak boleh dibatasi hanya untuk pembelian pupuk dan tidak boleh dibatasi pula hanya untuk merek tertentu dari BUMN. Dengan demikian, diharapkan akan bisa mengurangi selisih harga antara pupuk produk BUMN dan produk swasta sehingga dapat mendorong kompetisi pasar dan petani untuk menggunakan kombinasi input secara optimal.
“Jadi tidak hanya berfokus dipupuk saja dan tidak hanya urea saja. Saldo ini juga dalam rekomendasi kami tidak boleh ditarik tunai jadi harus ada batasannya dalam sistem. Dia nggak bisa ditarik tunai, jadi hanya untuk dibelanjakan untuk input saja.” paparnya.
Adapun tujuan dari rekomendasi ini, jelas Aditya, bukan untuk memberikan subsidi secara berkepanjangan.
“Dalam jangka panjang, menurut kami harus ada deadline dan harus ada mekanisme evaluasi kapan seseorang atau satu daerah, kapan dia harus berhenti menerima subsidi atau bantuan pembayaran langsung ini.” ungkapnya.