Jakarta, Gatra.com – Kelompok notaris pendengar dan pemikir (Klompencapir) yang merupakan sebuah forum beranggotakan notaris, menggelar webinar bertajuk “Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan UUJN (Undang-Undang Jabatan Notaris)” pada Selasa (23/11). Webinar ini menyikapi merebaknya kabar soal over kriminalisasi terhadap profesi notaris terkait mafia tanah.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Romli Atmasasmita, S.H., LLM, salah satu narasumber dalam webinar tersebut, menyampaikan, over kriminalisasi adalah sesuatu yang merupakan tindak pidana ditetapkan melalui cara-cara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Romli, fakta adanya notaris yang mengalami kriminalisasi dalam menjalankan jabatannya, harus dilihat apakah termasuk kategori kriminalisasi atau over kriminalisasi.
“Jika kriminalisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka positif. Namun jika over kriminalisasi baru dosa,” ujarnya.
Dalam menjalankankan jabatannya, lanjut dia dalam webinar yang dimoderatori oleh Dr. Dewi Tenty, S.H., MH, MKn, inisiator dan pendiri Klompencapir, notaris memiliki payung hukum, yakni UU No 30 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Menurutnya, meskipun ruang lingkup pekerjaan notaris adalah keperdataan, yakni terkait dengan pembuatan akta dan dalam UU semua sanksinya peringatan dan administratif, tetapi tidak berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku.
“Sepanjang bukti-bukti yang diperoleh penyelidik cukup, maka bisa dikenakan satu tindak pidana,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku dan secara akal sehat, seharusnya tidak mungkin notaris melakukan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan. Namun kalau hal tersebut terjadi, tidak menutup kemungkinan ada pihak lain yang berhubungan dengan notaris yang memalsukan, sehingga masuk kualifikasi perbuatan yang memenuhi unsur pidana.
“Kalau memang notaris berinsiatif melakukan penipuan, pemalsuan, penggelapan. Aneh ini, kekecualian dari norma yang tidak biasa,” katanya.
Untuk itu, perlu pengawasan untuk memastikan notaris melakukan jabatannya sesuai ketentuan. Permasalahan yang dihadapi oleh notaris secara keseluruhan, adalah belum adanya koordinasi dan sinergi antara majelis pengawas, pengurus pusat, dan daerah. Jika tidak ditangani dengan baik, maka masalah-masalah yang dihadapi notaris dalam ruang lingkup keperdataan bisa menjadi pidana.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, menyampaikan, kriminalisasi dalam berbagai literatur dikatakan perbuatan yang semula bukan pidana menjadi pidana, yaitu memformulasikan satu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana namun karena ada kebijakan kriminal itu ditetapkan sebagai perbuatan tindak pidana.
“Namun dalam sehari-hari ada istilah juga kriminalisasi, yaitu tapi maknanya adalah untuk menetapkan tersangka atau terdakwa atas perbuatan yang tidak dilakukannya,” kata dia.
Sedangkan over kriminalisasi adalah penggunaan sanksi pidana yang melampaui batas. Dalam kaitannya dengan jabatan notaris, tidak ada ketentuan pidana diatur dalam jabatan UU Notaris, sehingga kriminalisasi secara potensial terjadi berdasarkan undang-undang lain.
“Jadi kriminalisasi dalam proses tersebut sebagai tersangka bukan sebagai saksi, namun harus ditemukan adanya maksud-maksud jahat atau mensrea,” ujarnya.
Dalam konteks melindungi profesi notaris, pemanggilan notaris, baik sebagai saksi maupun tersangka, selain ditentukan dalam KUHAP juga diatur dalam UU Jabatan Notaris.
Sementara itu, Dewi Tenty dalam siaran pers, menyampaikan, pihaknya menggelar webinar karena adanya pemberitaan yang masif megenai profesi notaris yang dikaitkan dengan mafia tanah. Bahkan terjadi kasus kriminalisasi yang menimpa notaris & PPAT. Ini seperti halnya sebuah puncak gunung es karena masih banyak lagi kasus-kasus yang dialami notaris di berbagai daerah.
“Salah satu faktornya yang kami lihat adala UU Jabatan Notaris dinilai mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap notaris sehingga menjadikan bumerang bagi notaris itu sendiri,” ujarnya.
UUJN sebagai payung hukum bagi notaris, hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan terhadap pidana bagi Notaris. Harus pula segera proses legislasi UU tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam pandangan Dewi Tenty, diskusi ini menghasilan sejumlah poin penting, di antaranya mengenai sinergi dari pengurus organisasi profesi dengan Majelis Pengawas Notaris mulai dari tingkat daerah, wilayah, sampai pusat, agar perlindungan terhadap notaris maksimal.
“Harmonisasi antarlembaga juga makin penting, mengingat kini merebak biro jasa yang dibuat dengan KLBI yang sudah ditetapkan oleh BKPM tentang pengurusan badan hukum dan pertanahan yang notabene merupakan domain notaris & PPAT sebagai pejabat umum,” katanya.
Klompencapir juga mencatat perlunya dibuat suatu pemahaman antara notaris dengan lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman untuk menyamakan presepsi tugas dan wewenang notaris sebagai pejabat umum.
Menurutnya, akta notaris & PPAT adalah akta otentik. Sebagai alat bukti, akta itu “sudah berbicara”, sehingga jika terjadi permasalahan kemudian hari, tak perlu lagi keterangan lain dari notaris & PPAT, yang bahkan sering menyeret notaris & PPAT pada kriminalisasi.
Sedangkan untuk melakukan penahanan terhadap notaris & PPAT, tidak diperlukan jika terjadi suatu kasus. Sebab, alasan penahanan menurut UU hanya jika dikhawatirkan yang bersangkutan melarikan diri dan menghilangkan alat bukti. Notaris tak mungkin seperti itu, karena kantornya jelas dan ada data sentralnya, baik di Kemenhum HAM maupun di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akta notaris dalam suatu proses pidana hanya diperlukan pada tahap “penyelidikan”.
Dewi Tenty juga meminta agar diberlakukan asas ultimum remedium, hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Notaris & PPAT sebagai pejabat umum harus memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat berdasarkan UUJN dan Peraturan Jabatan PPAT, seharusnya melaksanakan pekerjaannya lebih ke arah perdata, atau administrasi, bukan kepada hukum pidana.
“Serta asas restoratif justice yang merupakan alternatif dalam hukum pidana yang bertujuan untuk membangun peradilan pidana yang peka tentang masalah korban, bukan penekanan pada hukuman,” ujarnya.
Terakhir, UU Jabatan Notaris mengamanatkan notaris yang juga berfungsi sosial, yaitu melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehubungan dengan pembuatan akta yang akan dibuat.
“Jangan sampai fungsi ini disalahartikan para penegak hukum dalam 'twilight crime', menjadikan notaris masuk ke dalam 'meeting of mind', menyuruh melakukan atau turut membantu melakukan,” kata Dewi Tenty.