Home Gaya Hidup Telisik Nilai Silek Minang, Sasaran Merawat dari Kepunahan

Telisik Nilai Silek Minang, Sasaran Merawat dari Kepunahan

Padang, Gatra.com - Bila setiap nyawa bisa mati, setiap yang tak bernyawa bisa lenyap dari muka bumi. Begitu arti pentingnya melestarikan segala kebudayaan di Tanah Air.

Silek (silat) adalah salah satu budaya tradisional yang dimiliki Tanah Air. Tak terkecuali, silek di Minangkabau. Konon, karena diwariskan turun-temurun sejak dahulu kala, dari generasi ke generasi.

Kendati begitu, ada kegelisahan-kegelisahan pelaku seni, pegiat silek, bahkan sejumlah tokoh di Sumatera Barat. Terlebih, perkembangan zaman, dan maraknya budaya Asing. Sementara kesenian tradisi, seperti halnya silek sebagian menganggap kuno.

Begitulah pemikiran Ediwar dalam catatannya, sekaligus memaparkan kegelisahannya; Menghidupkan Sasaran Menjaga Silek dari Kepunahan (Sebuah Strategi Menuju Sasaran Sekolah), sebagai Jalan Silek Menghadapi Krisis Kebudayaan di Era Globalisasi.

Menurut akademisi ISI Padang Panjang itu, silek bagi orang Minang bukan sekadar seni bela diri. Lebih dari itu, dalam silek terhimpun sebagai persiapan diri untuk menghadapi berbagai kesenjangan hidup. Baik ekonomi, sosial, bahkan politik.

Ia menyampaikan, dalam tubuh silek bersemayam ungkapan; lahie silek silaturahmi, batin silek mengana diri. Ungkapan ini mengandung makna bahwa silek sebagai sarana menautkan tali persaudaraan, dan saling menjaga diri.

Maka tak heran, kiranya orang Minangkabau sejak dahulu memang dikenal cerdas bertutur kata, pandai bernegosiasi. Dikenal Basilek kato (berbicara), telah dibangkitkan dalam kultur lokal, di bawah naungan Rumah Gadang.

Mengingat pentingnya silek ini, lanjut Ediwar, orang Minang dahulunya memfungsikan budaya surau sebagai momentum silek. Surau bukan hanya sekadar belajar agama, atau mengaji, tapi juga wadah membentengi diri.

Dia mencatat, budaya surau ini telah memunculkan budaya sasaran. Silek berkembang sebagai bentuk kepandaian, atau kemampuan bela diri. Budaya sasaran ini digelar pada malam hari di halaman surau, sekaligus diajarkan beretika.

Nilai-nilai Filosofi Sasaran Silek

Ada banyak peran berbagai pihak dalam membangkitkan silek Minangkabau dari kepunahan. Menjaga silek memang tak cukup oleh satu orang semata. Harus banyak yang terlibat.

Dalam silek, terkandung nilai Alam Takambang Jadi Guru. Belajar silek adalah belajar banyak hal. Bukan hanya gerakan silek, tapi juga lingkungan di sasaran silek. Termasuk alamnya, manusianya, hingga gerak-gerik orangnya.

Lalu, dalam sasaran silek diajarkan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Diajarkan saling menghormati, alua jo patuik, ukua jo jangko, dan raso jo pareso. Bahkan juga diajarkan pepatah, petitih, dan beragam ungkapan adat.

Ediwar menuturkan, silek ialah seni budaya tradisional. Setiap silek sangat khas, unik, dan berbeda dengan lainnya. Gerak silek bisa berkembang selaras dengan zaman. Sesuai kelenturannya, gerakan silek bukanlah sesuatu yang "mati".

Tak cukup di situ, silek juga luwes, dinamis, dan memiliki ruang kebebasan, sepanjang nilai-nilai esensial tidak hilang. Silek bisa mengisi ruang dan perubahan sesuai dengan kepentingan situasi demi situasi, dan waktu demi waktu.

Kendati begitu, bebas berkreativitas, dan mampu diungkap dengan bahasa organis dan cerdas, tapi silek tak mesti diubah semena-mena melangkahi batas. Silek harus berkembang mengikuti zamannya secara alamiah.

Maka sebab itu pula, tutur Ediwar, dalam silek banyak mengandung nilai. Sejatinya, Silek Minangkabau di Nusantara disebut sebagai "tradisi hidup" (living tradition), bukan suatu tradisi yang mati atau kaku dalam dekapan zaman.

Sayangnya, suasana kehidupan silek di nagari (desa) Minangkabau sudah di pintu ambang mengkhawatirkan. Kenyataan itu Tak dapat lagi ditolak, bahwa telah terjadi kerapuhan dalam usaha pewaris seni-seni tradisional di kampung-kampung.

Para empu atau tetua silek sudah berguguran karena usia. Sementara mayoritas generasi muda dengan segala gerak-gerik modernisnya telah memaklumi diri, tidak berminat mewaris seni-seni tradisional, bahkan meremehkan tradisi seni ini pada konteksnya.

Kekhawatiran itu dikutip Ediwar, sesuai pernyataan Buya Suari Abdullah dalam buku Menyingkap Rahasia Minangkabau, 2019:253. Disebutkan, di berbagai negara telah banyak berdiri Sasaran Silek Minang. Orang Asing berbondong belajar Silek Tradisi Minang, justru di daerah Minang sendiri terjadi krisis.

Kondisi di atas, sebut Ediwar, diperumit lagi oleh tidak tersedianya kurikulum seni silek di Sekolah Dasar. Padahal banyak murid yang punya potensi dan berbakat menjadi kader-kader terampil dalam mewariskan repertoar kesenian tradisional, dan perlu diasah sejak dini.

Apalagi menurutnya, punahnya seni-seni tradisi tradisional yang sarat dengan nilai alam, dan lingkungan bisa mendatangkan malapetaka. Tentu bagi perkembangan psikologis generasi muda, yang setiap harinya didesak melahap nilai-nilai seni dari Barat.

Padahal sambung Ediwar, orang tua dahulu hingga tetua silek sudah menyiasati faktor putusnya re-generasi pewaris seni tradisi. Diingatkan dalam ungkapan; anggun gayo labuah basimpang, puncai hanyuik puntuang la padam, ka taruih colok lah padam, ka pulang harilah malam, ka mangaji surek lah hilang, ka baraja guru lah mati.

Ungkapan itu bermakna, penyesalan karena sudan terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Dalam ungkapan itu tersirat pesan mendalam, agar generasi muda mau mempelajari sesuatu dengan sungguh-sungguh agar tidak menyesal akhirnya. Termasuk belajar silek tradisi Minangkabau.

Upaya Cegah Kepunahan

Ada upaya yang bisa menghidupkan dan menjaga sasaran Silek Minangkabau dari kepunahan. Terutama membangun gairah tradisional dengan mengedepankan tiga pilar utama.

Pertama, menyangkut aspek ketahanan identitas silek, dan sasaran yang mampu menyokong pada integrasi budaya lokal. Kedua, kemampuan masyarakat, tetua silek, pemerintah nagari mengelola dan mengorganisasian potensi silek dan nilai budaya lokal secara otonom, mandiri, dan profesional.

Ketiga, edukasi dengan mempertahankan aspek nilai-nilai seni, atau kegunaan silek bagi tumbuh kembangnya etika serta pendidikan karakter untuk menjawab tantangan budaya lokal menghadapi pengaruh budaya global.

Salah satu upaya dalam mewujudkan ketiganya, Pemprov Sumbar melalui Dinas Kebudayaan Sumbar telah menggelar Silek Art Festival (SAF) sejak tahun 2018 lalu. SAF didukung langsung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan (Indonesiana), dan UPTD yang dikelolanya (BPNB dan BPCB) se-Sumbar.

Melalui SAF ini pula, silek tradisi Minangkabau mulai menggeliat, pesertanya bahkan ada di luar Sumbar. Kegiatan ini mendorong Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada 13 Desember 2019 lalu. Tentu ini ikut menguatkan posisi Silek Minangkabau.

Silek tradisi di Minangkabau beragam aliran. Mulai dari Silek Tuo, Silek Baruah, Silek Harimau, Silek Lintau, Silek Sitaralak, Silek Pauah, Silek Kumango, Silek Sei Pitai, Silek Lincua, Silek Gulo Tareh, dan silek-silek lainnya.

Semua aliran silek itu bisa dilestarikan dengan memasuki ranah pendidikan, yakni sasaran silek berbasis sekolah. Melibat siswa, guru sekolah, pihak sekolah, guru silek, pelatih silek, hingga pemberdayaan dan pengembangan bahan ajar silek.

Dalam mewujudkannya, tentu perlu edukasi dan sosialisasi, serta kerja sama dengan semua elemen masyarakat. Mulai dari pemerintah, dinas atau lembaga terkait, wali nagari, masyarakat, hingga komunitas-komunitas silek yang ada di Minangkabau.

Selain itu, pentingnya pembuatan strategi pelestarian silek. Mulai dari pemetaan komunitas silek, kepengurusan profesional, penyediaan modul pembelajaran, pelatihan, menciptakan wahana kretivitas silek, serta mengelola sasaran silek dan meningkatkan kegiatan pementasan silek.

Adapun target prioritas dalam upaya pelestarian, pengembangan, serta pembinaan silek tradisional yakni kelompok masyarakat, serta generasi muda yang belum dan telah bergabung dalam kelompok sasaran silek tradisional.

Kemudian, generasi muda putus sekolah/kuliah, buta aksara, menganggur, akademisi, seniman, dan lainnya. Upaya ini memungkinkan peningkatan keterampilan di bidang silek tradisional. Otomatis juga ikut melestarikan budaya silek di Ranah Minang.

Melestarikan silek, bukan semata-mata hanya kepentingan dan tanggungjawab pemerintah. Namun juga kewajiban semua lapisan masyarakat, dan sinergisitas dengan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, dan semua unsur lainnya.

Semua itu, telah disampaikan Ediwar, dalam Bimbingan Teknis Membumikan Silek, Melestarikan Nilai Adat dan Budaya pada 28-30 Oktober 2021 lalu di Kota Padang. Dihadiri langsung oleh Kadis Kebudayaan Sumbar Gemala Ranti, Ketua IPSI Sumbar Fauzi Bahar, dan Maigus Nasir selaku Anggota DPRD Sumbar.

"Tentu kita sangat mendukung, dan mendorong pelestarian seni tradisi Silek Minangkabau ini. Harus re-generasi, jangan sampai tinggal nama," tambah Gemala Ranti.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ketua IPSI Sumbar, Fauzi Bahar yang berharap silek bukan hanya menjadi ajang tontonan. Dia menginginkan generasi muda lebih mencintai seni-seni tradisional Minangkabau, salah satunya silek, agar tetap hidup sepanjang zaman.

 

2541