Home Ekonomi Daftar 11 Isu Liberalisasi Digital yang Mandek di Tingkat WTO

Daftar 11 Isu Liberalisasi Digital yang Mandek di Tingkat WTO

Jakarta, Gatra.com – Liberalisasi digital menjadi tak terelakkan di zaman serba digital ini. Namun, walau di satu sisi digitalisasi menawarkan berbagai kemudahan, di sisi lain ia juga mengembangbiakkan hal-hal sensitif, seperti bobolnya perlindungan data pribadi orang-orang yang melakukan transaksi digital.

Isu-isu itulah yang kemudian menjadi satu perhatian besar para Trans National Corporation (TNC) dari berbagai negara untuk menyepakati satu-dua hal soal digitalisasi di level WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia.

Peneliti senior dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Olisias Gultom, mengungkapkan bahwa sejauh ini terdapat 11 isu yang menjadi perhatian para TNC tersebut. Isu-isu ini mandek di tingkat WTO lantaran kesepakatan selalu menemui jalan buntu.

Isu pertama adalah isu perdagangan tanpa kertas. Maksudnya adalah digitalisasi transaksi jual beli yang tak lagi dilakukan melalui mekanisme legalisasi berdasarkan kertas atau tanda tangan basah.

“Jadi sekarang sudah mulai dibuat dalam model electronic legal,” ujar Olisias dalam sebuah webinar yang digelar pada Senin (22/11).

Isu kedua adalah otentifikasi elektronik. Otentifikasi elektronik ini dilakukan juga untuk proses perdagangan. “Ini termasuk kategori yang tidak terlalu signifikan, tetapi lebih bersifat fungsional dalam proses melakukan transaksi elektronik,” ujar Olisias.

Nomor ketiga adalah perlindungan konsumen daring di mana proteksi diharapkan bisa dilakukan pada konsumen yang melakukan transaksi jual-beli secara daring.

Keempat adalah perlindungan informasi pribadi daring. “Ini saya maksudkan bahwa ini persoalan yang sudah banyak disepakati sebagian negara, tetapi masih mengandung persoalan yang tidak mudah diselesaikan di tingkat WTO,” ujar Olisias.

Kelima adalah persoalan spam atau pesan elektronik komersial yang tidak diinginkan. Untuk hal ini, Olisias menyebut bahwa hal ini telah disepakati oleh banyak negara dan e-commerce yang tergabung dalam Joint Investment Initiatives (JSIs).

“Spam ini saya pikir cukup familiar dengan kita dan saya pikir ini persoalan yang sangat mengganggu dan ini juga masuk ke kategori persoalan yang lebih mudah disepakati,” ujar Olisias.

Persoalan keenam adalah bea cukai pada transmisi elektronik. Walau sudah disepakati oleh banyak negara, persoalan ini masih harus berkutat dengan masalah nilai, angka-angka, dan lainnya.

“Ini persoalan yang kelihatannya tidak akan mudah disepakati atau masih membutuhkan waktu di tingkat WTO,” ujar Olisias.

Yang ketujuh adalah perlakuan produk diskriminatif terhadap produk digital. Persoalan ini berhubungan erat dengan jenis-jenis produk digital. Yang menjadi persoalan adalah hadirnya produk digital intangible atau tak kasat mata.

“Jadi tidak berbentuk barang, tetapi berbentuk digital. Nilainya bagaimana, memberikan penilaian terhadap itu, dan bagaimana melakukan perlakuan terhadap produk-produk secara digital karena dia bersifat intangible, tidak langsung kelihatan, dan ini mengandung beberapa persoalan,” tutr Olisias.

Persoalan kedelapan adalah kerangka persoalan domestik untuk transaksi elektronik. Walau sudah banyak yang menyepakati, mekanisme ini diakui tak mudah lantaran peraturan di setiap negara tak sama. Kesepakatan di tingkat WTO masih mengambang.

“Kelihatannya akan muncul pada kesepakatn-kesepakatan yang bersifat common pada fungsi yang bersifat bersamaan,” kata Olisias.

Lalu, yang kesembilan adalah lokalisasi fasilitas komputer. Persoalan ini disebut sudah banyak disepakati.

“Ini juga sebagian disepakati. Kalau saya sepintas melihat di Asean e-commerce, ASEAN mengakui kebijakan setiap negara. Nah, baru dia membuat peraturan. Nah, ini juga persoalan yang akan sama. Jadi negara sudah mempunyai aturan soal ini, tetapi masih mengandung banyak persoalan sehingga tidak mudah juga untuk disepakati di tingkat WTO,” kata Olisias.

Kesepuluh, transfer informasi lintas batas dengan cara elektronik. Ini berhubungan erat dengan perlindungan data pribadi. Olisias menyebut bahwa ini akan menjadi isu yang paling sensitif dan akan memakan waktu yang tak sebentar di tingkat WTO.

Yang terakhir adalah pengungkapan kode sumber (source code). Olisias menyebut bahwa persoalan ini pun sensitif. “Ini menjadi highlight bagi kami di IGJ bahwa persoalan ke depan yang akan dihadapi yang menjadi signifikan adalah persoalan source code,” katanya.

Olisias mengindikasikan bahwa kesepakatan yang rumit dan memakan waktu lama ini lazim terjadi di tingkat WTO. Yang menjadi hambatan adalah mekanismenya yang panjang dan keterlibatan banyak pihak.

Dalam perkembangannya, yang dilakukan untuk mencari jalan alternatif adalah dibentuknya Joint Statement Initiative. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 2017.

“Jadi beberapa negara menginisiatifkan diri untuk membuat proposal, melakukan agenda yang saya sebut sebagai liberalisasi digital, kemudian menarik negara-negara lain untuk ikut, kemudian dia menarik lebih banyak negara untuk membuat proposal ini disepakati secara multilateral [di tingkat WTO],” ujar Olisias.

438